Bank Central Asia (BCA) pun sedang menyiapkan secondary market (pasar sekunder) dari produk obligasi melalui aplikasi Wealth Management yang disebut Welma. Di pasar sekunder ini nantinya BCA memfasilitasi nasabah yang ingin menjual lagi obligasi yang sudah dibeli. Saat ini BCA baru melayani transaksi obligasi di pasar perdana. Nasabah prioritas, kata Corporate Secretary BCA Raymon Yonarto, mayoritas masih memilih instrumen investasi yang konservatif. "Misalnya obligasi ritel atau yang bersifat fixed income (reksa dana berbasis obligasi)," kata dia.
Sudah lama pemerintah menerbitkan surat berharga ritel, yakni sejak tahun 2006. Pertama kali yang diluncurkan adalah instrumen Obligasi Negara Ritel (ORI) seri ORI001. Kala itu, penjualan ORI kepada masyarakat dilakukan secara manual, dengan dibantu Agen Penjual yang terdiri dari bank dan Perusahaan efek. Saat transaksi, umumnya bank dan perusahaan efek mendampingi nasabah dalam mengisi form pembelian.
Direktur Surat Utang Negara Kementerian Keuangan, Loto S Ginting (tengah) memegang smartphone saat melakukan peluncuran surat utang Savings Bond Retail seri SBR005 di Giyanti Coffee, Jakarta Pusat, Kamis 10 Januari 2019. Tempo/Dias Prasongko
Kemudian 12 tahun setelahnya, yaitu tahun 2018, pemerintah membuat inovasi dengan menjual surat berharga negara ritel secara online. Masyarakat baru dapat membeli surat berharga ritel melalui platform yang disediakan Mitra Distribusi yang sudah menyatu dengan sistem Kementerian Keuangan. Setahun setelah peluncuran penjualan secara online, kata Direktur Surat Utang Negara Ditjen PPR Kemenkeu Loto Srinaita Ginting, jumlah investor ritel baru meningkat lebih dari 100 persen.
Alih-alih fokus meningkatkan volume pembelian surat berharga, pemerintah lebih mengutamakan pertumbuhan jumlah investor individu. Pemerintah, kata Loto, ingin memperbesar partisipasi masyarakat dalam kepemilikan surat berharga negara. Dia berharap surat berharga negara ritel semakin dikenal masyarakat sebagai instrumen investasi yang aman yang disediakan pemerintah dengan nominal investasi terjangkau. Dulu surat berharga negara hanya dibeli oleh masyarakat berkocek tebal, karena pembeliannya minimal ratusan juta rupiah. Kini cukup memiliki uang Rp 1 juta, siapapun bisa mengoleksi surat berharga negara.