TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center of Reform on Economics atau CORE Yusuf Rendy Manilet menuturkan efek dari 16 paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah sejak 2015 cenderung beragam. Ada beberapa paket kebijakan yang ia nilai sukses, ada juga sejumlah upaya yang dinilai tidak membawa dampak apapun.
Menurut Yusuf, salah satu faktor yang menyebabkan efektivitas paket kebijakan ekonomi Indonesia cenderung angin-anginan adalah sifat paket tersebut yang cenderung reaktif. Paket-paket ekonomi yang dirancang dan dikeluarkan adalah respons pemerintah terhadap situasi ekonomi global dan pengaruhnya terhadap Indonesia hanya pada beberapa waktu tertentu.
“Reaktif memang perlu, tetapi substansi kebijakan yang dikeluarkan lebih penting dan harus komprehensif,” kata Yusuf seperti dilansir Bisnis,com, Selasa 1 Oktober 2019.
Karakteristik paket kebijakan tersebut berakibat pada minimnya kajian yang dilakukan kementerian/lembaga terkait. Kurangnya studi yang dilakukan, lanjutnya, pada akhirnya akan mempengaruhi efektivitas sebuah paket kebijakan ekonomi.
Ia mencontohkan insentif untuk industri galangan kapal pada paket kebijakan ekonomi XV yang dikeluarkan pada 2017. Kala itu, pemerintah akan memberikan insentif berupa pemotongan pajak. Namun, katanya, kenyataan di lapangan banyak pelaku usaha yang tidak mendapat keringanan ini.
Selain itu, industri galangan kapal adalah sektor ekonomi yang bersifat padat modal. Ia menilai perlu ada insentif pendukung lain selain pemotongan pajak yang berpotensi membantu penurunan defisit transaksi berjalan Indonesia.
Faktor lain yang mengurangi efektivitas paket kebijakan ekonomi adalah rentang pemberlakuan kebijakan yang cenderung singkat. Hal ini merupakan dampak tambahan dari sifat paket kebijakan yang reaktif.
“Kebanyakan paket (yang dikeluarkan) seperti setengah-setengah. Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah menangkap permasalahan di satu sektor, tetapi melewatkan permasalahan pada sektor lain,” kata Yusuf.