TEMPO.CO, Jakarta – Kondisi perusahaan maskapai Sriwijaya Air ditengarai memburuk setelah mengalami dispute atau pecah kongsi dengan Garuda Indonesia. Ketua Umum Asosiasi Serikat Pekerja Sriwijaya Air atau Aspersi Pritanto Ade Saputro mendesak manajemen segera mengambil langkah untuk menyelamatkan entitasnya.
“Cashflow kami semakin berkurang. Pemegang saham seolah enggak ada action untuk menaruh duit di perusahaan. Sedangkan kerja sama dengan Garuda Indonesia enggak ada kepastian,” ujar Pritanto saat ditemui di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Jumat, 27 September 2019.
Pritanto mengatakan indikasi memburuknya bisnis perusahaan tampak dari laporan operasional maskapai. Dalam salinan data fleet Sriwijaya Air yang diterima Tempo per 27 September 2019, total maskapai yang beroperasi pada hari itu tinggal 11.
Sedangkan maskapai Sriwijaya seluruhnya berjumlah 30 unit. Normalnya, 27 maskapai beroperasi setiap hari. Namun saat ini ada sekitar 18 maskapai di-grounded dan satu sisanya diposisikan sebagai cadangan.
Selain penurunan jumlah operasional maskapai, on time performance atau OTP Sriwijaya melorot. Data OTP Sriwijaya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada hari yang sama hanya mencapai 46,67 persen dengan frekuensi 72 penerbangan.
Tercatat ada beberapa penerbangan yang mengalami keterlambatan, seperti dari Jakarta menuju Sorong, Jakarta menuju Bali, Jakarta menuju Balikpapan, dan Jakarta menuju Tanjung Pandan. Selain karena dampak kabut asap, kemelorotan OTP disinyalir terjadi karena kinerja perusahaan menurun.
Kemudian, dari sisi tunggakan, saat ini Sriwijaya masih memiliki utang kepada sejumlah BUMN. Ke Garuda Maintenance Facility atau GMF AeroAsia, misalnya, utang Sriwijaya tercatat masih US$ 58 juta atau sekitar Rp 812 miliar (dengan kurs Rp 14 ribu). Sedangkan dengan Pertamina, Sriwijaya masih menanggung tunggakan Rp 791,44 miliar.
Pritanto mengatakan sejumlah karyawan mulai resah. Apalagi kisruh dengan Garuda Indonesia ini bukan cuma membuat kinerja perseroan melorot, melainkan juga berimbas pada status karyawan.
Ia mengatakan, setelah dispute, perusahaan mendemosi dua pejabatnya, yakni Vice President Human Capital Agus Setiawan dan Corporate Secretary Retri Maya, menjadi staf. Demosi tersebut, ujar dia, dilakukan tanpa embel-embel surat peringatan lebih dulu.
Di sisi lain, 10 karyawan Garuda Indonesia yang dipekerjakan di Sriwijaya turut terdampak. Mereka dinyatakan tidak boleh masuk kerja tanpa surat resmi.
Persoalan Sriwijaya dan Garuda Indonesia sejatinya telah mencuat sejak Maret 2019. Sebelumnya, kedua perusahaan itu melakoni kerja sama manajemen atau KSM. Memanasnya konflik keduanya terjadi setelah pemegang saham membuat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa atau RUPSLB tanpa sepengetahuan direksi.
Hasil RUPSLB itu mengubah anggaran dasar atau anggaran rumah tangga yang isinya ditengarai membatasi kewenangan direksi. Adapun dalam RUPSLB tersebut, Sriwijaya telah mengalami untung Rp 20 miliar.
RUPSLB kembali digelar pada Agustus 2019. Tiga perwakilan pejabat yang ditempatkan oleh Garuda Indonesia di Sriwijaya Air didepak. Ketiganya adalah Direktur Utama Joseph Andriaan Saul, Direktur Sumber Daya Manusia Harkandri M. Dahler, dan Direktur Komersial Joseph K. Tendean.
Pemegang saham lalu menunjuk Jenderal (Purn) Jusuf Manggabarani sebagai Komisaris Utama dan RA Tampubolon sebagai Direktur Legal dan Kepatuhan. Tak lama berselang, pada 24 September 2019, Sriwijaya mengeluarkan surat pemberhentian untuk Joseph Saul, Harkandri, dan Josep Tendean. Sehari setelahnya, Garuda Indonesia memutuskan mencopot seluruh logo maskapainya di pesawat Sriwijaya Air.
Terkait masalah ini, Tempo telah mencoba menghubungi RA Tampubolon melalui telepon dan pesan pendek. Namun tidak direspons. Tempo juga menghubungi Direktur Komersial PT Sriwijaya Air Rifai Taberi, tapi tak memperoleh balasan.