Di antara mesin kapal itu, Hadi tampak lugas menjelaskan komponen penggerak kapal ketika pejabat tersebut meminta keterangan. Sejurus kemudian ia terlihat menarik napas lega tatkala pejabat pemeriksa kelar melaksanakan uji tesnya.
Pejabat-pejabat Kementerian Perhubungan itu beranjak tak lama kemudian. Mereka berkeliling di kapal yang megah dan penuh interior klasik berbahan kayu. Berbarengan dengan itu, Hadi undur diri. Ia kembali ke lambung kapal, tempatnya bekerja.
Kamar awak buah kapal di kapal wisata Sea Safari VII yang berlabuh di Pelabuhan Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Jumat, 20 September 2019. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Di bawah kapal megah berkapasitas 253 Gross Ton ini, kamar mesin yang pengap menjadi ruang kerja Hadi. Saban hari setiap pukul 08.00 hingga 16.00 WITA, ia berjaga di ruang itu. "Saya mencatat di jurnal setiap hari, apa yang perlu dicek hari ini, yang perlu diganti," katanya.
Bersama tiga anak buahnya, ia akrab dengan mesin yang menggerakkan baling-baling. Ia tahu betul seluk-beluk permesinan di kapal. Bahkan, ruang seluas 2x1 meter di samping mesin menjadi kamarnya. Di kamar itu bergelantungan baju-baju seadanya.
Sebuah gitar teronggok di sisi kasur. Kadang-kadang ia cabik senarnya kala bosan mendengar deru mesin yang tidak berintonasi.
Hadi telah 10 tahun bekerja sebagai awak mesin kapal. Tiga tahun belakangan ia menjadi kru bagi kapal wisata Sea Safari VII. Tak seperti pekerja umumnya, ia hanya mendarat sesekali. "Mendarat kalau sedang berlabuh," katanya.
Udara segar di daratan adalah barang berharga yang kerap ia tunggu-tunggu saat penat bergelut dengan mesin. Sambil mengelap keringatnya yang hitam terkena jelaga mesin, Hadi mengela napas.
Selain kerap rindu udara darat, awak kapal ini mengaku sering kangen dengan keluarga. Sebab, ia hanya pulang sesekali, 14 hari setahun. "Ketemu keluarga di Blitar cuma sekali-dua kali. Kalau cuti 1 sekalian 1 minggu," ujarnya.