TEMPO.CO, Jakarta - Tiga warga Banten menggugat calon pemberi dana proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Jawa 9 dan 10 di Cilegon, Banten, yaitu Korea Development Bank (KDB), Korea Export-Import Bank (Kexim), dan Korea Trade Insurance Corporation (K-Sure). Gugatan dilayangkan ke Pengadilan Tingkat 1 Korea Selatan, bersama kelompok masyarakat sipil asal Negeri Ginseng, Solutions for Our Climate (SFOC).
Direktur SFOC, Kim Joo-jin, menyatakan polusi udara menjadi salah satu dasar pertimbangan gugatan. Berdasarkan citra satelit, polusi nitrogen oksida (NOx) di Suralaya sangat tinggi akibat banyaknya PLTU batu bara di wilayah tersebut. Proyek PLTU Jawa 9 dan 10 diyakini akan meningkatkan risiko lingkungan dan gangguan kesehatan. “Pendanaan proyek ini tidak mempertimbangkan masa depan generasi mendatang,” kata Kim, Kamis 29 Agustus 2019.
Menurut Kim, dampak buruknya kualitas udara telah dirasakan masyarakat setempat. Beberapa warga tercatat mengalami masalah pernapasan hingga gangguan kulit.
Selain itu, Kim mengatakan, rencana pembiayaan terhadap proyek PLTU Jawa 9 dan 10 juga dapat dianggap bermasalah lantaran perusahaan calon pemberi dana sebelumnya telah berkomitmen untuk menjaga iklim. Komitmen tersebut, kata dia, semestinya ditunjukkan dengan investasi ke pembangkit listrik tenaga terbarukan yang kini juga semakin murah.
PLTU Jawa 9 dan 10 dibangun PT Indoraya Tenaga, perusahaan gabungan PT Indonesia Power—anak usaha PT PLN (Persero), Doosan Heavy, dan Korea Midland Power. Kedua perusahaan Korea itu juga turut digugat.
Saat ini proyek pembangkit berkapasitas 2 x 1.000 megawatt tersebut tengah mempersiapkan pemenuhan pembiayaan atau financial closing dengan lembaga keuangan Korea. Ditargetkan rampung dan mulai beroperasi pada 2023, proyek ini membutuhkan dana senilai US$ 3 miliar yang sebanyak 70 persennya berasal dari pembiayaan eksternal.