TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional atau BPKN Ardiansyah Parman mendesak agar revisi terhadap Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Nasional segera diselesaikan. Sebab, Undang-Undang yang telah 20 tahun berjalan ini belum mampu mengakomodir perkembangan saat ini.
BACA: Survei BI: Keyakinan Konsumen Meningkat pada Mei 2019
"Apalagi di era digital, UU Perlindungan Konsumen harus bisa menakomodir ekonomi digital," kata Ardiansyah dalam jumpa pers di Gedung Kementerian Perdagangan, Selasa, 2 Juli 2019
Menurut Ardiansyah, salah satu komponen yang harus diatur dalam revisi ini adalah mengenai arus data pribadi dalam ekonomi digital. Sebab, saat ini potensi kebocoran data pribadi sudah sangat besar dan terjadi. "Saya tadi baru saja terima telefon ada yang menawarkan sesuatu, tentu ada data saya yang bocor," kata dia.
BACA: BI: Bulan Pilpres, Optimisme Konsumen Menguat
Desakan revisi ini telah lama disuarakan BPKN karena perkembangan ekonomi digital yang begitu cepat. April 2019, Ardiansyah mengatakan dalam spektrum perdagangan dunia, United Nations Conference on Trade and Development atau UNCTAD telah mengeluarkan UN Guideline For Consumer Protection pada 2016.
Petunjuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB ini menggantikan Guideline yang dikeluarkan pada 1986. Ini adalah kerangka perlindungan konsumen di tengah kondisi global ekonomi digital, seperti e-commerce, konektivitas, ekonomi big data artifical inteligence dan digital currency.
Anggota Komisioner BPKN bidang Komunikasi dan Edukasi, Edib Muslim, menjelaskan pengaturan data pribadi saat ini sangat rawan untuk diperdagangkan dan disalahgunakan. Selain revisi UU Perlindungan Konsumen, Ia juga mendesak agar UU Perlindungan Data Pribadi di Kementerian Komunikasi dan Informatika pun bisa segera rampung. "Sebab, perkembangan teknologi yang begitu cepat membuat terjadinya kekosongan hukum," kata dia.