TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Universitas Gajah Mada Yogyakarta Anggito Abimanyu, mengatakan pemerintah boleh saja menerapkan kebijakan bersifat populis tetapi juga harus dibarengi dengan langkah mitigasi dan koreksi agar tidak terjadi permasalahan bagi perekonomian Indonesia.
Baca: Prabowo Ingin Buat Bank Tabungan Haji, Anggito Mendukung
"Kebijakan populis tidak apa-apa dilakukan itu wajar tetapi ini harus ada mitigasinya dan ada langkah-langkah koreksi," kata Anggito Abimanyu saat ditemui di peluncuran bukunya "Menyimak Turbulensi Ekonomi: Pengalaman Empiris Indonesia" di PPM Manajemen, Jakarta Pusat, Senin, 15 April 2019.
Pernyataan Anggito tersebut menanggapi sejumlah janji para calon presiden dan wakil presiden dalam membenahi perekonomian nasional ke depan. Keputusan pemerintah menunda kenaikan pajak ataupun pengenaan tarif pajak, menurut dia, suatu saat harus dilakukan.
Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan ini juga mengomentari kebijakan pemerintah Jokowi yang mempertahankan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik. Padahal di saat yang bersamaan terjadi tren kenaikan harga minyak dunia.
Seharusnya, kata Anggito, sudah ada penyesuaian harga BBM, tetapi tidak dilakukan. "Itu akan membebani fiskal. Kalau tidak, BUMN seperti Pertamina dan PLN akan menanggung subsidinya, itu menjadi sesuatu yang kurang baik."
Anggito Abimanyu menjelaskan, ketika Sri Mulyani Indrawati menjadi Menteri Keuangan telah banyak reformasi yang dihasilkan dari reformasi subsidi hingga pajak dijalankan dengan baik. Meski begitu, harus ada reformasi instrumen fiskal dan lembaganya perlu diperbaiki agar dapat meningkatkan tax ratio yang masih stagnan di angka 10-11 persen.
Baca: Anggito: 20 Persen Dana Kelolaan Haji untuk Investasi Langsung
"Mesti ada reformasi dalam APBN 2019 untuk mencari sebab kenapa tax ratio belum naik dan belum berkembangnya perbankan syariah," kata Anggito Abimanyu.
EKO WAHYUDI | RR ARIYANI