TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia Tbk Anggito Abimanyu mengatakan reformasi kebijakan fiskal melambat sejak 2010. Hal itu ditandai dengan lepas kendalinya disiplin fiskal dan melonjaknya defisit keseimbangan primer.
Anggito lalu memberikan dua saran bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam memperbaiki pajak. "Harus ada peningkatan intensifikasi perpajakan. Intensifkan sektor yang masih growing, seperti sektor digital, sektor komunikasi, dan sektor perumahan," kata Anggito dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa, 6 Desember 2016.
Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan ini juga mengkritik pemungutan pajak bagi perusahaan over the top yang hingga kini belum juga terlihat hasilnya. “Padahal pajak OTT jumlahnya signifikan.”
Baca: Pemprov DKI Naikkan Target Pajak Parkir 2017
Pajak pertambahan nilai (PPN) bagi jual-beli rumah kedua, menurut Anggito, juga memerlukan kajian yang komprehensif. Menurut dia, masih ada ruang untuk menaikkan tarif PPN karena dana pihak ketiga (DPK) masih tumbuh 5 persen. "Kita juga perlu memastikan penurunan penerimaan migas setara dengan pengurangan subsidi," ujar lulusan Universitas Gadjah Mada ini.
Anggito pun mengusulkan pembentukan badan penerimaan pajak. Untuk itu, perbaikan organisasi dan penambahan sumber daya alam diperlukan. "Pemerintah juga perlu mengurangi janji-janji pelonggaran kebijakan fiskal yang belum dikaji, seperti tax haven di Batam, BBM satu harga, dan lain sebagainya," tutur Anggito.
Simak: Lantik Pejabat Baru Pajak, Sri Mulyani: Saya Luka, Kecewa
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan pemerintah akan berkonsultasi dengan para stakeholder dalam pembentukan badan penerimaan pajak. Namun dia menekankan bahwa institusi pajak harus kredibel dan kuat. "Yang paling penting, membuat Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang bersih, efektif, bebas korupsi, dan memiliki kemampuan untuk menjaga keuangan negara."
ANGELINA ANJAR SAWITRI