TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tidak terlalu mengkhawatirkan defisit neraca perdagangan yang terjadi sepanjang kuartal I 2019 ini. Sebab, defisit terjadi karena impor yang lebih banyak didominasi oleh kategori barang bahan baku untuk kebutuhan industri.
Baca: BPS: Neraca Perdagangan Maret 2019 Surplus USD 540 Juta
"Ini menunjukkan pertumbuhan industri meningkat, baik dari segi volumenya, kapasitas, maupun investasi baru, terutama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)," kata Enggartiasto dalam acara Indonesia Industrial Summit di Indonesia Convention Exhibition (ICE) Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, Banten, Selasa, 16 April 2019.
Sebelumnya pada Senin, 15 April 2019, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menjelaskan mengumumkan neraca perdagangan mengalami defisit sebesar sebesar US$ 190 juta. Jika dibandingkan dengan kuartal I 2018, neraca perdagangan justru mengalami surplus sebesar US$ 280 juta.
Adapun defisit pada kuartal I 2018 ini terjadi seiring dengan penurunan ekspor yang mencapai 8,49 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ekspor hanya sebesar US$ 40,52 miliar, turun dibandingkan US$ 44,27 miliar pada kuartal I 2018.
Kendati demikian, impor sebenarnya juga mengalami penurunan. Dari US$ 43,9 miliar pada kuartal I 2018 menjadi US$ 40,7 miliar pada kuartal I 2019. Dari total tersebut, 75,13 persennya berasal dari impor bahan baku. Lalu impor barang modal 16,57 persen dan barang konsumsi 8,3 persen.
Dengan kenaikan impor bahan baku ini, Enggartiasto mengatakan memang akan terjadi defisit neraca perdagangan untuk sesaat. Tapi setelah itu, kondisi diyakini akan berbalik karena bahan baku yang didatangkan mayoritas digunakan oleh industri yang berorientasi ekspor. Sehingga, hasil dari impor bahan baku terhadap perdagangan secara umum baru akan terasa dampaknya pada 2019 ini.
Di sisi lain, Enggartiasto menyadari kinerja ekspor sepanjang tiga bulan pertama ini lebih buruk ketimbang tahun lalu. Ia kembali menyinggung perang dagang Amerika Serikat dan Cina sebagai salah satu penyebabnya.
Sebab, pertumbuhan ekonomi dunia melemah dan menyebabkan permintaan juga turun. "Jadi pasarnya semakin sempit dan terjadi persaingan antar negara, dalam hal harga, kualitas barang, dan bea masuk," ujar Enggartiasto.
Dalam kondisi ini, kata Enggartiasto, negara yang lebih diuntungkan adalah negara yang sudah lebih dulu membuat perjanjian dagang dengan negara lain yang menjadi mitra perdagangannya. Indonesia dinilai tertinggal dalam hal ini sehingga pemerintah pun mengebut sejumlah perjanjian dagang, terutama dengan negara tujuan ekspor non-tradisional selain Cina, Jepang, dan Amerika Serikat. "Kalau enggak ketinggalan dengan pasar yang makin sempit."
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan neraca perdagangan perlu dilihat secara menyeluruh. Sebab, neraca perdagangan yang semula defisit pada Januari bisa berubah menjadi surplus pada Februari 2019. "Artinya tendensinya surplus, jangan cuma liat akumulasinya," ujarnya.
Baca: Neraca Perdagangan Surplus, Istana Klaim Ekonomi Membaik
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia, Adhi S Lukman mengatakan dalam praktik bisnis di lapangan, kuartal I 2019 ini lebih dibandingkan kuartal I 2018. Salah satunya karena permintaan pasar yang menurut dia cukup baik sepanjang tiga bulan pertama tahun ini. "Saya gak bilang efek pemilu, tapi kalau pemilu pasti ada dampak walau gak signifikan," kata dia.
Simak berita terkait neraca perdagangan lainnya di Tempo.co.