TEMPO.CO, Jakarta - Kritik dari majalah berbahasa Inggris The Economist terhadap kinerja pemerintah Jokowi dinilai tidak didasarkan pada data yang akurat. Hal tersebut disampaikan oleh staf khusus presiden, Ahmad Erani Yustika.
Baca: Jokowi Bantah Hanya Fokus di Infrastruktur: Kita Punya PKH
"Kami mengapresiasi atas kritik yang disampaikan oleh The Economist, namun banyak dari kritik itu yang perlu diklarifikasi karena tidak didasarkan kepada data yang akurat dan peta komprehensif atas kemajuan ekonomi Indonesia dari waktu ke waktu," kata Ahmad Erani Yustika dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Ahad, 27 Januari 2019.
Erani menjelaskan, The Economist sebelumnya mengkritik pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla karena menekankan pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan mengedepankan geliat investasi menarik investor. Tulisan yang tayang pada pekan lalu berisi kritik atas janji kampanye Jokowi pada 2014 bahwa akan memberi pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen pada akhir masa jabatan pertamanya sebagai presiden.
Namun realisasinya pertumbuhan ekonomi yang tercapai sekitar 5 persen. Prospek untuk 2019 juga terlihat tidak lebih baik, terutama karena Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga enam kali dalam sembilan bulan terakhir untuk menahan penurunan rupiah.
Kritik kedua dari The Economist adalah soal rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia yang memiliki kualifikasi yang baik. Hal ini dikeluhkan oleh para pebisnis tentang kurangnya pekerja Indonesia yang terampil. Meski 20 persen anggaran APBN untuk pendidikan namun standar pendidikan di Indonesia masih rendah.
Tak hanya itu, The Economist juga melihat tingginya upah tenaga kerja Indonesia. Upah pekerja manufaktur Indonesia disebut 45 persen lebih tinggi dari Vietnam karena kebijakan populis sejumlah pemda yang sebagian besar merupakan politikus untuk mengangkat suara mereka.
Kritik lainnya adalah dalam hal belanja anggaran karena pada awalnya pemerintahan Jokowi-JK. Awalnya Jokowi fokus untuk pembangunan infrastruktur namun dalam anggaran 2018, The Economist melihat modal untuk infrastruktur justru menurun, digantikan dengan belanja subsidi.
Menanggapi sejumlah kritik itu, Erani mengatakan indikator-indikator makroekonomi Indonesia tetap solid dan cenderung membaik. Beberapa indikator yang dimaksud adalah tren pertumbuhan ekonomi Indonesia justru naik dari 5,01 persen pada 2014 menjadi 5,17 persen pada kuartal ketiga 2018.
Hal itu menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik ketimbang tren penurunan yang terjadi sebelumnya selama 2011 hingga 2015. Pada 2011, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,4 persen dan turun menjadi 4,9 persen pada 2015, setelah itu pertumbuhan ekonomi menanjak kembali secara perlahan di saat negara lain pertumbuhan ekonomi makin turun, termasuk Cina.
Kualitas pertumbuhan ekonomi pun, menurut Erani, juga makin baik. "Untuk pertama kalinya sejak 2016 pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan secara bersamaan. Seperti diketahui, pada periode 2005-2014 ketimpangan pendapatan terus meningkat," ucapnya.