TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Perusahaan PT Adhi Karya (Persero) Tbk, Ki Syahgolang Permata, membeberkan fakta di balik nilai proyek Light Rail Transit Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi alias LRT Jabodebek yang dikritik Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut Syahgolang, nilai proyek tersebut didapatkan lewat kajian yang melihatkan konsultan independen.
Baca juga: Jusuf Kalla Kritik Nilai Proyek LRT, Kemenhub Angkat Bicara
"Ini telah disetujui oleh Kementerian Perhubungan," kata dia kepada Tempo, Selasa, 15 Januari 2019.
Polemik ini muncul setelah Kalla menganggap biaya pembangunan proyek terlalu mahal, mencapai Rp 500 miliar per kilometer.
Menurut Syahgolang, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga telah melakukan tinjauan terhadap pekerjaan yang telah dilakukan dan melakukan pembayaran per termin. Sampai dengan 31 Desember 2018, kata dia, pembangunan LRT telah mencapai 55,9 persen, namun jumlah pembayaran yang telah diterima Adhi Karya adalah sebesar Rp5,9 triliun di luar pajak. "Untuk pekerjaan sampai dengan 30 Juni 2018," kata dia.
Nilai proyek LRT mencapai Rp 29,9 triliun yang ditanggung Adhi Karya Rp 25,7 triliun dan PT Kereta Api Indonesia (Persero) Rp 4,2 triliun. Adhi Karya mendapat suntikan modal dari pemerintah pada 2015 sebesar Rp 1,4 triliun. Tapi, Rp 19,25 triliun lain harus didanai lewat utang ke 12 sindikasi perbankan.
Adhi Karya menyatakan nilai proyek LRT lebih murah dibandingkan proyek di beberapa negara lain. Nilai itupun mengikuti desain trase yang paling final. "Kami sudah lakukan kajian, inilah yang paling optimum," kata Direktur Operasi II , PT Pundjung Setya Brata di pabrik precast LRT Jabodebek, Jakarta, Senin, 14 Januari 2019.
Tempo mengkonfirmasi hal ini kepada Sekretaris Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Danto Restyawan. "Nilai kontrak LRT Jabodebek bukan per km (lumpsump), tetapi kontraknya harga satuan sesuai RAB (Rencana Anggaran Biaya) yang telah dikaji oleh konsultan independen," kata dia, Senin, 14 Januari 2019.