TEMPO.CO, Jakarta - Pelunasan pembayaran akuisisi PT Freeport Indonesia atau PTFI oleh PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum pada Jumat pekan lalu ternyata masih ramai diperbincangkan sejumlah pihak. Salah satunya di antaranya mempersoalkan divestasi yang terkesan seperti membeli "barang sendiri" milik Indonesia.
Baca: Divestasi Saham, Freeport McMoran: Menguntungkan Kedua Pihak
Menanggapi hal itu, Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum Rendi Witular menegaskan proses divestasi Freeport tidak seperti membeli "barang sendiri" milik Indonesia. "Sangat disayangkan beberapa pengamat tidak membaca data dan Kontrak Karya (KK) PTFI sebelumnya namun berani membuat analisa bodong dan menyesatkan publik seolah-olah kita membeli tanah air kita sendiri," katanya dalam keterangan tertulis, Senin, 24 Desember 2018.
Inalum pada Jumat meningkatkan kepemilikannya di PTFI dari 9,36 persen menjadi 51 persen dengan membayar US$ 3,85 miliar atau Rp 55 triliun. Dengan begitu, Inalum menjadi pengendali perusahaan yang memiliki tambang Grasberg di Papua dengan kekayaan emas, perunggu dan perak sebesar Rp 2.400 triliun hingga 2041.
Rendi menjelaskan, PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada tahun 1967 di zaman Soeharto dan diperbarui melalui KK tahun 1991 di zaman Presiden yang sama dengan masa operasi hingga 2021.
Terkait dengan masa operasi tersebut, perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX), pengendali PTFI, dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan. Pengertian FCX adalah bahwa KK akan berakhir di tahun 2021 namun mereka berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun (hingga 2041). Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar".
Interpretasi yang berbeda terkait kata tidak wajar ini, menurut Rendi, harus diselesaikan di pengadilan internasional (arbitrase). Jika ambil jalur arbitrase, dampaknya operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan.
Hal ini, menurut Rendi, akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi. Tambang Grasberg adalah yang terumit di dunia. Dampak kedua adalah ekonomi Mimika akan terhenti karena sekitar 90 persen ekonomi mereka digerakkan oleh kegiatan PTFI.
Sementara itu, tidak ada jaminan pula Indonesia dapat menang di arbitrase yang sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun, dan jika kalah bisa pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi.
Baca: Gerindra Ingatkan Divestasi Freeport Dibayar Pakai Utang Asing
Di KK itu pun, kata Rendi, tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir, pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis. KK PTFI tidak sama dengan kontrak yang berlaku di sektor minyak dan gas di mana jika kontrak berakhir langsung dimiliki oleh pemerintah.
ANTARA