Persoalan itu kemudian kerap menjadi temuan aparat hukum dan menghambat proses pengucuran dana desa tahap berikutnya. Persoalan lainnya adalah ihwal pajak yang dibayarkan desa.
Toko-toko di desa hampir dipastikan tidak ada yang mengeluarkan faktur pajak. Akibatnya, para kepala desa kerap mengakalinya dengan membuat faktur sendiri. Kebiasaan itu lantas menjadi penghambat pengelolaan dana desa.
Kendati pada awal periode, pengelolaan duit khusus desa itu kerap dibayangi masalah, Eko berujar pemerintah tetap tak mengehentikan program itu. Malahan, anggaran untuk dana desa ditambah menjadi Rp 46,98 triliun pada 2016. Penambahan alokasi anggaran itu disertai dengan pengetatan pengawasan di desa.
Eko menggandeng sejumlah pemangku kepentingan, misalnya Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, hingga Kementerian Dalam Negeri untuk mengawasi dana desa. "Kami sepakat kalau kesalahan administrasi, kepala desa tidak boleh dikriminalisasi. Sehingga, Kades berani mengelola dana desa," ujar dia. "Tapi kalau korupsi harus diproses secara hukum."
Di samping itu, Eko juga menggandeng sejumlah perguruan tinggi untuk membuat kegiatan pengabdian masyarakat di desa dalam bentuk kuliah kerja nyata tematik. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat mendukung desa dalam hal pengelolaan negara hingga hal teknis seperti membangun jalan dan jembatan.
Dengan upaya itu, penyerapan dana desa mengalami kenaikan setiap tahunnya. Pada 2016, penyerapan dana desa naik menjadi 97 persen, sementara pada tahun 2017 kala alokasi anggaran naik menjadi Rp 60 triliun, penyerapannya 98 persen. "Dengan dikeroyok bersama-sama, penyerapan dana desa mulai naik."