Saat ini, menurut Arie, masih ada pekerjaan rumah besar pemerintah selanjutnya. Salah satunya adalah memastikan negoisasi divestasi saham PT Freeport Indonesia oleh pemerintah bisa berdampak langsung kepada kepentingan nasional dan masyarakat Papua.
Sementara itu, Direktur Center of Reform on Economics atau CORE Indonesia M. Faisal menilai masih ada banyak kelemahan dalam program pengentasan kemiskinan, terutama dalam hal peningkatan daya beli.
Langkah pemerintahan Jokowi yang justru mencabut subsidi BBM di awal masa pemerintahan, menurut Faisal, berdampak pada inflasi dan menggerus daya beli masyarakat. “Baru dalam satu tahun terakhir pemerintah meningkatkan program2 bantuan sosial dan subsidi secara masif,” ucap Faisal pada Tempo.
Selain itu, yang paling penting dalam pengentasan kemiskinan adalah penciptaan lapangan kerja dan di sini letak kelemahan utamanya. “Selama tiga tahun pertama memang terjadi pertumbuhan lapangan kerja sebanyak 10 juta jiwa lebih, tapi semuanya adalah lapangan kerja informal, lapangan kerja formal justru stagnan bahkan mengalami pengurangan,” tutur Faisal.
Mesin Tua, Industri Manufaktur Tak Efisien
Sektor-sektor strategis kunci yang semestinya didorong justru selama 4 tahun terakhir terbengkalai, yakni sektor industri manufaktur yang justru menjadi penyumbang terbesar terhadap PDB dan salah satu penyumbang terbesar lapangan kerja. Sektor ini justru terus mengalami deindustrialisasi, sehingga wajar kalau pertumbuhan PDB pun tertahan di level 5 persen dan kinerja ekspor juga lemah karena lemahnya daya saing ekspor manufaktur.
Walhasil, di tahun ini Indonesia menghadapi defisit perdagangan yang melebar dan pelemahan nilai tukar, karena lemahnya fundamental ekonomi, khususnya di industri manufaktur. Upaya menahan laju impor juga akan sulit bila industri dalam negeri tidak berdaya saing kuat, artinya punya gap daya saing yang lebar dengan produk manufaktur dari luar.
Faisal menjelaskan, dalam membangun kemandirian di sektor strategis, yang penting adalah membangun struktur industri manufaktur yang dalam dan dengan value chain dan linkages yang kuat di dalam negeri. “Baik forward linkage maupun backward linkage,” tuturnya.
Kalau itu tidak dibangun, Faisal khawatir industri manufaktur akan makin tergantung pada bahan baku dan penolong dari luar. Sehingga tidak heran ketika ingin mendorong industri di dalam negeri, maka akan diikuti dengan peningkatan impor bahan dan baku penolong. “Artinya bakal makin menekan neraca perdagangan dan transaksi berjalan,” ucapnya.
Baca: Rizal Ramli: Kebijakan Ekonomi Jokowi Masih Konservatif
Nah, pada saat daya saing industri manufaktur lemah ini, menurut Faisal, maka penetrasi ekspor juga menjadi lemah. Meskipun pemerintah Jokowi dan Jusuf Kalla sudah mencoba untuk memperluas kerjasama pasar bebas dengan negara lain, tapi efektivitas dari strategi ini rendah karena permasalahan utama yaitu daya saing produk ekspor manufakturnya sendiri sudah kalah bersaing dengan kompetitor seperti Vietnam yang punya produk-produk ekspor andalan yang serupa dengan Indonesia.
CAESAR AKBAR | HENDARTYO HANGGI | BISNIS