TEMPO.CO, Jakarta - PT Kereta Api Indonesia (KAI) Persero bakal menggenjot pendapatan perusahaan dari sektor angkutan barang. Menurut Direktur Utama PT KAI, Edi Sukmoro, porsi pendapatan sektor angkutan barang masih berkisar di angka 5 hingga 7 persen.
Baca juga: PT KAI Tahun Ini Gunakan Biodiesel 280 Juta Liter
"Kalau di luar negeri sudah sampai 15 persen," ujarnya saat menghadiri diskusi di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa, 2 Oktober 2018.
Edi mengatakan, pendapatan PT KAI saat ini bersumber dari tiga sektor, yaitu penumpang, angkutan barang, dan non-angkutan seperti pemberdayaan aset. Dari tiga sektor itu, penyumbang terbesar yaitu pendapatan penumpang yang mencapai lebih dari separuh pendapatan. "Kami berharap angkutan barang ke depannya bisa sama dengan penumpang," ujarnya.
Sepanjang 2017, PT KAI telah mengangkut sebanyak 41 juta ton barang yang terdiri dari komoditas seperti batu bara, semen, hingga kontainer. Sedangkan untuk 2018, jumlahnya diharapkan mencapai 47,2 juta ton. Hingga Agustus 2018, target pengangkutan barang yang telah dicapai yaitu sebesar 62,5 persen atau sekitar 29,5 juta ton.
Rencana untuk memperbesar porsi pendapatan angkutan barang ini sebenarnya telah lama disampaikan pejabat PT KAI. Sejak 2014, PT KAI menargetkan porsinya mencapai 35 persen, namun hingga saat ini ternyata baru mencapai maksimal 7 persen. Akan tetapi, dengan adanya pembatasan truk Over Dimension and Over Loading (ODOL) alias truk kelebihan muatan oleh Kemenhub, maka KAI optimistis target itu bisa tercapai kembali.
Walau begitu, Edi mengatakan, PT KAI masih menjari solusi atas tantangan lain yaitu angkutan lanjutan. Sebab, pengangkutan barang dari pabrik harus menuju gudang penyimpanan dulu sebelum menuju ke stasiun.
"Artinya pemilik barang mendapatkan kemudahan, diangkut dari titik semula sampai titik yang dia mau," ujarnya.
Walau demikian, untuk tahun ini KAI sudah menganggarkan pengadaan 19 lokomotif yang didatangkan khusus untuk mengangkut barang. Sementara, anggaran untuk satu lokomotif saja rata-rata sekitar Rp 30 hingga Rp 35 miliar sehingga total 19 lokomotif ini akan mencapai Rp 570 miliar sampai Rp 665 miliar.