Jakarta - Ombudsman RI menilai polemik impor beras yang menghangat belakangan ini antara Dirut Perum Bulog Budi Waseso dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjadi pertanda belum terintegrasinya kebijakan perberasan dari hulu sampai hilir. Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih menyebut perubahan satu kebijakan pada salah satu mata rantai perberasan, seperti Bantuan Pangan Non Tunai, telah menimbulkan komplikasi dalam sistem perberasan nasional.
Baca juga: Ogah Bicara Banyak, Kwik Kian Gie: Kontroversi Impor Beras, Keras
"Penolakan impor oleh Perum Badan Urusan Logistik dengan alasan stok beras di gudang menumpuk, membuktikan buruknya dampak perubahan kebijakan tersebut," ujar Alamsyah dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Ahad, 23 September 2018.
Menurut Alamsyah, dihentikannya program Raskin menyebabkan sistem logistik beras mengalami tekanan. Sementara, penetapan program BPNT sebagai pemicu komplikasi tidak disertai dengan pembaruan kebijakan skema distribusi bagi Bulog, termasuk penerapan disposal stock policy.
Sebelumnya, Budi Waseso terang-terangan mempertanyakan keputusan impor beras. Selain karena cadangan beras pemerintah aman, harga beras relatif stabil, juga karena kapasitas penyimpanan di gudang Bulog yang tak cukup besar dan berpendapat bahwa Kantor Kementerian Perdagangan harus siap menjadi gudang penyimpanan beras impor yang mencapai 2 juta ton.
Saat ini, kata Budi Waseso, stok cadangan beras di gudang Bulog sudah mencapai 2,4 juta ton. Jumlah tersebut belum termasuk beras impor yang akan masuk pada Oktober sebesar 400 ribu ton sehingga total stoknya menjadi 2,8 juta ton. "Itu di gudang Menteri Perdagangan. Udah komitmen kan, kantornya siap dijadikan gudang ya sudah," ucapnya.
Di sisi lain, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, mengatakan bahwa penyimpan beras impor dan gudang sepenuhnya merupakan tanggung jawab Bulog, karena persetujuan impor telah dilakukan atas keputusan rapar koordinasi terbatas yang tiap lembaga.
Untuk itu, Alamsyah menyarankan Presiden Joko Widodo untuk mengambil beberapa langkah. "Antara lain melakukan audit posisi stok beras di Perum Bulog dan hitung perkiraan stok beras di penggilingan dengan supervisi metode oleh Badan pusat Statistik," tutur dia.
Di samping audit gudang Bulog, Alamsyah menyarankan BPS untuk menetapkan dan mempublikasikan segera hasil perbaikan hitungan data produksi nasional. Jokowi, ujar dia, juga mesti menetapkan neraca beras nasional sebagai dasar pengambilan keputusan impor. Data-data itu nantinya juga mesti bisa diakses oleh publik.
"Juga terapkan skema dan prosedur baku untuk pengambilan keputusan impor/tidak impor dalam Rakortas," kata Alamsyah. Ia juga menyebut Jokowi perlu memperbaiki kebijakan pengadaan dan distribusi beras Perum Bulog. "Jangan hanya memaksakan serap beras petani tanpa kejelasan skema distribusi dan disposal stock policy," kata Alamsyah.
Selain soal teknis dan data untuk pengambilan keputusan impor beras, kisruh yang terjadi antara Budi Waseso dengan Enggartiasto juga diduga disebabkan oleh ketidakkonsistenan sebagian pejabat terkait terhadap keputusan Rakortas. Karena itu, Alamsyah meminta Jokowi menegur Menteri dan Pejabat terkait yang bermuka dua alias dalam rakortas setuju, namun di luar menentang, agar tak merusak kepercayaan publik.