TEMPO.CO, Jakarta - Total kredit dalam perhatian khusus (kolektibilitas 2) industri perbankan hingga Juni 2018 tercatat meningkat sebesar 12,93 persen (year on year) menjadi Rp 280,43 triliun dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 248,3 triliun. Jika tak segera diantisipasi, ratusan triliun kredit konsumsi dan usaha itu berpotensi meningkat kolektibilitasnya menjadi kredit macet atau non performing loan (NPL).
Simak: Harga Minyak Membaik, Perbankan Kucurkan Kredit ke Sektor Migas
Perbankan pun tak menampik jika kemampuan membayar debitornya mulai mengalami kendala. “Biasanya karena volume usaha yang menurun, sehingga cash flow usaha juga menurun, akibatnya pembayaran bunga dan angsuran menjadi kurang lancar,” ujar Presiden Direktur Bank Mayapada Haryono Tjahjarijadi, kepada Tempo, Rabu 12 September 2018. Adapun kategori kredit dalam perhatian khusus adalah kredit yang debitornya sudah telat membayar sejak jatuh tempo hingga dua bulan lamanya.
Kenaikan paling tinggi secara tahunan terjadi di bank kategori BUKU III atau bank dengan modal menengah, yaitu sebesar 27,27 persen, dari Rp 93 triliun menjadi Rp 119 triliun di Juni 2018. Sedangkan, berdasarkan porsinya, rasio kredit dalam prhatian khusus terhadap total kredit hingga Juni 2018 sebesar 5,72 persen, lebih tinggi dibandingkan rasio NPL 2,7 persen.
Haryono menuturkan faktor kondisi perekonomian domestik yang bergejolak hingga pelemahan kurs rupiah diduga menjadi salah satu penyebabnya. “Pelemahannya hampir di semua sektor, sehingga penting ke depannya untuk meningkatkan konsumsi masyarakat,” katanya.
Direktur Consumer Banking CIMB Niaga Lani Darmawan menuturkan pihaknya menerapkan pemantauan ekstra terkait dengan dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap kemampuan membayar debitor. “Terutama untuk segmen debitor tertentu yang kemungkinan sumber keuangan dan operasionalnya dapat terganggu,” katanya.
Tak hanya itu, penyaluran kredit ke depan juga dilakukan dengan lebih berhati-hati menimbang masih tingginya risiko yang akan dihadapi, seperti tren pelemahan rupiah yang berpotensi masih berlanjut hingga preduksi kenaikan kembali bunga acuan Bank Indonesia. “Proses penyaluran kredit kami lakukan dengan prudent, sambal memperhatikan indikator-indikator yang dapat memengaruhi kinerja finansial debitor maupun calon debitor.”