TEMPO.CO, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan masih mempertimbangkan rencana untuk menjamin kembali obat kanker Trastuzumab atau Herceptin. Sejak 1 April 2018, obat ini tidak lagi dijamin oleh BPJS Kesehatan karena adanya keputusan Dewan Pertimbangan Klinis bahwa Trastuzumab tidak memiliki dasar indikasi medis bagi pasien kanker payudara metastasis (sel kanker menyebar ke sejumlah organ tubuh lainnya).
Baca juga: BPJS Kesehatan Gunakan Rujukan Online, Ada Risiko Dibaliknya
"Kami masih dalam tahap untuk membahas itu, dengan memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 22 Tahun 2018," kata Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma'ruf saat dihubungi di Jakarta, Jumat, 7 September 2018. Peraturan ini mengatur tentang "Petunjuk Teknis Restriksi Penggunaan Obat Trastuzumab untuk Kanker Payudara Metastatik pada Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional."
Saat ini, BPJS Kesehatan masih terus melakukan pembicaraan dengan Kementerian Kesehatan dan Dewan Pertimbangan Klinis guna membahas nasib Trastuzumab ke depannya. Sehingga, belum ada satupun keputusan bahwa obat ini telah kembali dijamin oleh BPJS. "Sementara masih di bahas," ujarnya.
Keputusan dari Dewan Pertimbangan Klinis sesungguhnya bukanlah satu-satunya alasan BPJS untuk tidak menjamin Trastuzumab. Saat itu, BPJS juga tidak membantah bahwa harga satu obat yang mencapai Rp 25 juta adalah salah satu faktor, meski bukan penyebab utama. Walau begitu, BPJS tetap berkoordinasi dengan pihak yang berwenang sebelum memutuskan suatu obat dijamin atau tidak.
Baca Juga:
Namun pada akhir Agustus 2018, Kemenkes justru menyatakan Trastuzumab tetap dijamin BPJS berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 856 Tahun 2017 tentang Formularium Obat Nasional.
Sementara, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Maya Amiarny Rusady mengatakan jaminan Trastuzumab hanya diberikan pada pasien kanker stadium awal. Sedangan, pemberian obat ini pada pasien kanker stadium metastasis tidaklah efektif sesuai pertimbangan Dewan Pertimbangan Klinis sehingga tidak mendapat jaminan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timbul Siregar menilai rencana untuk menjamin kembali Trastuzumab adalah sebuah langkah yang tepat. Obat tersebut memang relatif mahal, kata dia, namun ada yang lebih penting yang harus diselamatkan yaitu psikologis pasien. "Jangan sampai orang yang kena kanker jadi hopeless, sudahlah meninggal saja daripada keluar duit sekian ratus juta," ujarnya saat dihubungi.
Sebelumnya, perkara ini mencuat saat Juniarti, pasien kanker payudara HER2 tidak berhasil memperoleh Trastuzumab saat berobat di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur. Apoteker RS menolak resep Juniarti lantaran obat ini telah dihentikan penjaminannya oleh BPJS Kesehatan.
Edy Haryadi, suami dari Juniarti pun melayangkan gugatan perdata terhadap Presiden Joko Widodo, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek dan Ketua Dewan Pertimbangan Klinis Agus Purwadianto. Selasa, 4 September 2018, sidang kembali ditunda lantaran tidak seluruh tergugat hadir di persidangan.
FAJAR PEBRIANTO | ANTARA