TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan mengawal secara ketat perluasan penggunaan campuran biodiesel 20 persen (Mandatori B20) ke solar non-pelayanan publik yang berlaku mulai Sabtu pekan lalu. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rida Mulyana, kemarin.
Baca: Kemenhub Buat Peraturan Menteri Wajib Gunakan B20
Rida menuturkan, dalam beberapa waktu ke depan, akan dilakukan silent audit untuk memastikan kebijakan tersebut dipatuhi oleh penyalur solar nonsubsidi dan non-public service obligation (PSO). “Tentu saja audit ini dilakukan tanpa ada pemberitahuan,” kata Rida kepada Tempo, Senin, 3 September 2018.
Selama ini, kata Rida, pengawasan program B20 telah dilakukan tersendiri oleh tim kementerian. Namun dia enggan memastikan apakah tim yang sama, atau bahkan ada tim khusus, yang akan melaksanakan audit mirip inspeksi mendadak ini. Yang jelas, dia memastikan pelaksanaan silent audit ini merupakan instrumen pelengkap dari pengawasan tim sebelumnya.
Selama ini program B20 hanya diterapkan pada solar bersubsidi dan solar untuk kebutuhan pembangkit listrik PT PLN (Persero). Pemerintah memutuskan memperluas cakupan program ke solar non-PSO untuk mengurangi impor bahan bakar minyak
Pembatasan impor ditempuh pemerintah, menyusul makin lebarnya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), yang pada kuartal II lalu mencapai US$ 8 miliar atau 3 persen dari produk domestik bruto. Tingginya defisit CAD membuat langkah stabilisasi nilai tukar rupiah makin sulit.
Adapun kebijakan B20 kini wajib diterapkan oleh badan usaha pengguna BBM non-PSO, seperti sektor transportasi, industri, pertambangan, dan ketenagalistrikan. Rida menyebutkan pengawasan akan dilakukan terhadap semua lini usaha, dari produsen biodiesel hingga ke produk yang dikonsumsi pengguna akhir.