TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia menilai ada indikasi maladministrasi dari kebijakan pembayaran Tunjangan Hari Raya atau THR oleh pemerintah. Anggota Ombudsman Alvin Lie mengatakan indikasi pertama bisa dilihat dari tidak ada koordinasinya antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (Pemda).
"Kebijakannya sepihak. Pemerintah daerah terlihat tidak ada persiapan, tergagap-gagap," kata dia saat dihubungi, Rabu, 6 Juni 2018.
Baca: Anies Baswedan: Segera Laporkan Jika Ada Ormas Memaksa Minta THR
Menurut dia, kebingungan atau keberatan Pemda ihwal pembayaran THR yang dibebankan ke anggaran daerah merupakan indikasi tidak adanya persiapan. Padahal, kata Alvin, pembayaran THR bisa disiapkan jauh-jauh hari karena sudah jelas waktunya dan merupakan hal rutin.
Baca juga: THR Ditanggung Daerah, Tri Rismaharini: Mosok Nggawe APBD?
Kebijakan THR menimbulkan polemik di tingkat Pemerintah Daerah. Beberapa Pemerintah Daerah disebut-sebut merasa keberatan bila THR pegawai negeri sipil di daerah dibebankan ke APBD. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini disebut salah satu kepala daerah yang keberatan anggaran THR dibayar dari kantong Pemda.
Baca juga: Sandiaga: Anggaran THR DKI Rp 500 M, Honorer Juga Dapat
Ihwal status non-aparatur sipil negara (pegawai sipil negara/PNS) yang tidak menerima THR, menurut Alvin, merupakan bentuk diskriminatif. Pasalnya, tidak sedikit pegawai tetap di pemerintahan yang tidak masuk kategori PNS tapi mendapatkan beban kerja dan penilaian yang sama. Salah satunya ialah pegawai non-PNS yang ada di lembaga atau komisi, seperti Komisi Pemilihan Umum misalnya.
Lebih lanjut, Alvin mengingatkan pemerintah agar berhati-hati menyarankan Pemda mengubah kebijakan penggunaan anggaran. Sebab, mantan anggota DPR RI periode 2004-2009 itu menyatakan perubahan penggunaan anggaran harus diketahui DPRD. "Bisa jadi temuan BPK (kalau tidak dilaporkan)," kata dia.
Di sisi lain, pemerintah harus mengutamakan good governance dalam kebijakan pembayaran THR. Pasalnya, kata Alvin, anggaran yang dipakai berasal dari rakyat. "Ini bukan uang perusahaan yang bisa digunakan fleksibel," ucapnya.