TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta perbankan memenuhi janjinya untuk meningkatkan efisiensi operasional sehingga tidak langsung secara cepat menaikkan suku bunga kredit setelah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan menjadi 4,5 persen.
"Perbankan memiliki ruang untuk meminimalkan dampak langsung daripada nasabah sehingga nasabah atau debitor tidak terlalu berat," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso seusai jumpa pers di Jakarta, Senin, 28 Mei 2018.
Baca juga: OJK: Perbankan Kuat Meski Rupiah Tembus Rp 20 Ribu per Dolar
Wimboh juga meminta perbankan melipatgandakan upaya efisiensinya agar biaya dana (cost of fund) menurun. Hal itu terkait dengan sinyalemen yang diberikan Bank Indonesia bahwa masih terbuka ruang untuk menaikkan kembali suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate pada Rapat Dewan Gubernur tambahan, lusa.
"Maka itu, harus optimalkan teknologi perbankan. Salah satunya dengan layanan bank nirkantor (branchless banking)," katanya.
Selain bunga acuan, faktor yang bisa mengerek suku bunga di perbankan adalah kondisi likuiditas yang ketat.
Wimboh mengklaim likuiditas perbankan masih sangat longgar hingga April 2018, sehingga tidak ada alasan perbankan menaikkan suku bunga dana untuk menghimpun pendanaan yang melimpah. Lazimnya, jika suku bunga dana naik, perbankan akan mengompensasi biaya dana yang timbul dengan menaikkan suku bunga kredit.
"Ekses likuiditas hingga April 2018 masih sangat banyak, sebesar Rp 618 triliun," katanya.
Sementara itu, dana pihak ketiga (DPK) perbankan tumbuh 8,06 persen (yoy) per April 2018.
Adapun berdasarkan data OJK, rata-rata suku bunga kredit perbankan hingga Maret 2018 sebesar 11,18 persen, sedangkan suku bunga simpanan perbankan dengan tenor 3, 6, 12 bulan, masing-masing sebesar 5,88 persen, 6,29 persen, dan 6,46 persen.
ANTARA