TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah berencana akan mengimpor 500 ribu ton beras. Rencana tersebut kembali menimbulkan perbedaan pendapat. Kementerian Pertanian mengatakan hal tersebut tidak perlu dilakukan, mengingat stok beras nasional yang mencapai 1,2 juta ton dan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sampai Lebaran nanti.
Namun, nyatanya di lapangan harga pasar beras medium justru melonjak dari Rp 9.450 menjadi Rp 11.700 per-kilo. Melihat itu, Kepala Penelitian Center of Indonesia Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan restriksi impor yang berlebihan terhadap beras tidak diikuti dengan adanya pembenahan rantai distribusi dan sinkronisasi data pangan.
Baca Juga:
"Padahal rantai distribusi sangat memengaruhi harga beras medium," kata Hizki dalam keterangan tertulis, Rabu, 22 Mei 2018. Ia menilai panjangnya jalur distribusi menyebabkan harga beras tinggi dan merugikan beberapa pihak seperti petani dan pedagang eceran.
Simak: Beras Impor Dikhawatirkan Datang Saat Panen Raya
Beras, kata Hizki, harus melalui empat sampai enam titik distribusi sebelum sampai ke tangan distribusi. "Dalam setiap titik, margin laba terbesar dinikmati oleh para tengkulak, pemilk penggilingan padi, atau pedagang grosir," kata dia.
Hal inilah yang menjadi argumen CIPS yang mengatakan bahwa kebihakan Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak efektif. Kebijakan ini, menurut Hizki, memaksa para pedagang eceran untuk menurunkan harga jual beras.
"Kebijakan ini membuat mereka rugi karena mereka membeli beras dengan harga yang lebih mahal dari HET dari para pedagang besarm" ucap Hizki.
Ia menyarankan agar data pangan harus bersumber dari satu pihak yang akurat dan diperbahurui secara berkala. Hal tersebut, kata Hizki, sangat penting untuk menentukan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Data pangan juga berfungsi guna mengukur produktifitas pangan dan mengidentifikasi daerah penghasil komoditas pangan serta mengetahui kondisi petani.
"Kalau pemerintah hanya mengandalkan data untuk pengambilan kebijakan impor (beras), maka secara logika hal ini sudah gugur karena data pemerintah sendiri tidak akurat," kata Hizki.