TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira, menyatakan target pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 sebesar 5,4-5,8 persen yang diungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani rentan meleset.
"Yang rentan meleset, pertumbuhan ekonomi. Diperkirakan realisasinya hanya 5,2 persen pada 2019," ucapnya saat dihubungi Tempo lewat pesan pendek, Ahad, 20 Mei 2018.
Baca juga: Indef: Target Pertumbuhan Ekonomi dari Sri Mulyani Tak Realistis
Dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Jumat, 18 Mei 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani optimistis dengan target pertumbuhan ekonomi. Patokan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,4-5,8 persen dia sampaikan dalam rapat itu.
Rentannya target itu meleset, ucap Bhima, terlihat dari faktor kinerja ekspor non-migas yang terhambat proteksionisme negara tujuan. Selain itu, ujar Bhima, baik konsumsi maupun investasi saat pemilihan presiden (pilpres) tahun 2019 diperkirakan kurang optimal.
Bhima menganggap, pada masa pilpres nanti, baik pelaku pasar maupun investor akan cenderung menahan diri akibat adanya ketidakpastian hukum. Dengan demikian, jumlah simpanan akan meningkat, sementara pertumbuhan kredit diperkirakan agak melandai.
"Akan banyak regulasi baru pasca-terpilihnya presiden baru. Jadi, lebih baik para investor menunda dulu sambil lihat outcome maunya presiden ke arah mana regulasinya," tutur Bhima. "Pengaruhnya justru kurang bagus ke perekonomian, terutama dari sisi investasi."
Meski begitu, Bhima menyebutkan faktor yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi akan datang dari belanja pemerintah untuk penyelenggaraan pilpres. Beberapa sektor, seperti bisnis jasa konveksi, restoran, dan hotel, akan menjadi target mengalirnya dana belanja politik.
"Secara keseluruhan, efeknya justru kecil ke pertumbuhan ekonomi, lebih besar kontraktifnya," kata Bhima.
Faktor lain yang dapat menyebabkan melesetnya target pertumbuhan ekonomi yang disampaikan Sri Mulyani, ucap Bhima, adalah nilai tukar rupiah yang rentan melemah hingga 14.700 per dolar Amerika Serikat. Hal itu merupakan dampak dari pengetatan moneter global serta melebarnya defisit transaksi berjalan.