TEMPO.CO, YOGYAKARTA - Yayasan Royal Silk Indonesia menyebut ketergantungan besar Indonesia terhadap Cina dalam penyediaan bahan baku benang sutera dinilai turut berimbas pada para perajin batik dan tenun yang selama ini mengandalkan bahan itu untuk proses produksi.
Ketergantungan Indonesia atas bahan baku sutera dari Cina itu disebut mencapai 98 persen.
“Dalam kurun dua hingga tahun terakhir ini, benang sutera impor dari Tiongkok ini harganya sudah Rp 1,3 juta per kilogram, atau naik berkali lipat dibanding sepuluh tahun lalu yang masih Rp 250 ribu per kilogram,” ujar Fitriani, Ketua Yayasan Royal Silk Indonesia di Yogyakarta Senin 16 April 2018.
Akibat makin mahalnya benang sutera itu, para perajin batik dan tenun di Indonesia yang bisa menggunakan benang itu untuk membuat kain pun kesulitan dan memilih menghentikan produksinya.
“Kalau benang sutera itu diganti dengan benang viscose rayon tentu kualitas barang akan turun,” ujarnya.
Fitriani merujuk penelitian tenaga ahli Japan International Cooperation Agency (JICA) yang membidangi pengembangan promosi produk lokal, Kuroda Masato yang menemukan dampak mahalnya sutera ini dialami perajin Indonesia.
Seperti di wilayah Wajo, Sulawesi Selatan yang selaa ini menjadi salah satu sentra produksi kain tenun. Dari 5000 perajin tenun di wilayah itu kini hanya 2000 penenun yang masih produksi akibat mahalnya bahan baku sutera. Tak hanya mahal, bahan sutera impor juga langka.
“Apalagi saat mau lebaran seperti ini, barang sutera itu di-‘keep’ stockiest dari Cina, lalu dilepas ke pasar saat mendekati lebaran jadi harganya bisa tinggi sekali,” ujar Fitriani.
Dari hasil penelitian di Wajo itu, Kuroda pun mencari alternative pengganti sutera dengan kualitas paling tidak setara namun dengan harga lebih murah. Akhirnya ditemukan alternative serat cupro yang harganya bisa per kilogram berkisar Rp 58-62 ribu.
Cupro ini serat yang menempel dalam biji kapas di mana masing-masing mengandung minyak kapas sehingga ketika dipintal menjadi benang hasilnya lembut dan berkilau seperti sutera. Bahan baku berbasis cupro ini telah diperkenalkan pada perajin seperti Wajo, Garut, dan Sukabumi.
Fitriani menuturkan, cupro ini sendiri juga bahan yang masih diimpor khususnya dari Jepang. Namun saat diimpor masih dalam bentuk serat dan proses pemintalan menjadi benang dilakukan di pabrik Indonesia. Sehingga secara harga dapat ditekan tidak seperti dengan Cina yang impornya hanya bisa dalam bentuk benang jadi.
“Dengan proses pemintalan di dalam negeri, produk benang cupro Indonesia ini bisa diekspor ke berbagai negara, jadi kita tidak hanya impor tapi juga bisa ekspor,” ujarnya.
Perajin sekaligus pemilik rumah batik Marenggo Batik Yogyakarta, Nuri M. Hidayati menuturkan, kain cupro sebagai alternative pengganti sutera ini benar-benar menjadi terobosan untuk perajin dan desainer terus berproduksi.
“Hasilnya benar-benar kinclong sekali seperti sutera,” ujarnya.
Adapun Nuri dan sejumlah artisan Yogyakarta rencananya juga akan memamerkan hasil olahan bahan baku cupro mereka saat pameran kerajinan tangan Inacraft 2018 nanti yang dilangsungkan 25-29 April 2018 di Jakarta Convention Center (JCC).