TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM Penny K. Lukito meminta masyarakat untuk tidak menggunakan obat Albothyl seiring beredar viralnya rekomendasi badan tersebut baru-baru ini. "Sementara ini jangan digunakan," kata Kepala BPOM Penny K. Lukito di Jalan Jelambar Utama Raya, Jakarta Barat, Kamis, 15 Februari 2018.
Pernyataan Penny mengkonfirmasi surat BPOM yang ditujukan kepada PT Pharos Indonesia tertanggal 3 Januari 2018 belakangan ini tersebar secara viral melalui berbagai media sosial dan grup percakapan. Surat tersebut berisi rekomendasi hasil rapat kajian aspek keamanan pasca pemasaran policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat 36 persen.
Policresulen diketahui terdapat dalam salah satu obat keluaran PT Pharos Indonesia yakni Albothyl. Albothyl selama ini dikenal luas sebagai obat sariawan.
Baca: Viral, Surat BPOM Larang Pharos Edarkan Albothyl
Penny juga membenarkan bahwa BPOM telah mengeluarkan surat yang ditujukan ke PT Pharos Indonesia tersebut. Namun dia enggan menjelaskan lebih detail soal alasan keluarnya surat tersebut. "Nanti dalam waktu dekat akan ada klarifikasi resmi dari BPOM," kata dia.
Seperti diketahui, surat dengan nomor: B-PW.03.02.354.3.01.18.0021 itu terlihat logo BPOM terletak di bagian atas belakangan ini telah tersebar luas. Di bagian bawah surat terlihat ditandatangani oleh Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, Dra. Nurma Hidayati M. Epid.
Surat tersebut di antaranya menjelaskan hasil rapat BPOM soal kajian aspek keamanan pasca pemasaran policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat 36 persen pada 25 Juli 2017 silam. Dari kajian itu sedikitnya didapatkan empat poin hasil.
Poin pertama adalah tidak ditemukan bukti ilmiah atau studi yang mendukung indikasi policresulen cairan obat luar 36 persen yang telah disetujui. Poin kedua, policresulen cairan obat luar 36 persen tidak lagi direkomendasikan penggunaannya untuk indikasi pada bedah, dermatologi, otolaringologi, stamatologi dan odontology.
Poin ketiga adalah policresulen cairan obat luar 36 persen merupakan obat bebas terbatas yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter. Penggunaan obat ini sangat berisiko dan berbahaya jika digunakan tanpa pengenceran terlebih dulu. Sedangkan poin keempat, terdapat laporan chemical burn pada mucosa oral akibat penggunaan policresulen obat luar konsentrat 36 persen oleh konsumen.
Dengan memperhatikan empat poin pertimbangan tersebut, maka rapat pengkajian aspek keamanan memberi dua rekomendasi. Rekomendasi pertama adalah risiko policresulen cairan obat luar 36 persen itu lebih besar daripada manfaat. "Sehingga policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat 36 persen itu tidak boleh beredar lagi untuk indikasi pada bedah, dermatologi, otolaringologi, stomatologi (stomatitis aftosa) dan odontologi," seperti dikutip dari surat BPOM tersebut.
Rekomendasi kedua adalah dilakukan reevaluasi indikasi policresulen dalam bentuk sediaan ovula dan gel pada saat proses renewal. Sebab, indikasi policresulen pada informasi produk policresulen bentuk sediaan ovula dan gel sama dengan yang tercantum pada policresulen dalam bentuk cairan obat luar konsentrat 36 persen.
Surat rekomendasi itu ditembuskan kepada tiga pejabat. Ketiga pejabat itu adalah Direktur Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT, Direktur Standarisasi Produk Terapetik dan PKRT, serta Direktur Penilaian Obat dan Produk Biologi BPOM.
Hingga berita ini diturunkan, Tempo belum berhasil mendapat tanggapan PT Pharos Indonesia terkait larangan BPOM peredaran policresulen cairan obat luar 36 persen itu. Salah satu operator telepon perusahaan, Ayu, menyatakan Direktur Komunikasi Korporat Pharos Indonesia, Ida Nurtika, sedang tidak berada di tempat.
Menanggapi surat rekomentasi BPOM itu, humas eksternal PT Pharos Indonesia, Agus Hidayat menyatakan perusahaan masih mengumpulkan data dulu. "Tunggu saja keterangan resmi," ujarnya.