TEMPO.CO, Jakarta - PT Astra Internasional Indonesia Tbk (ASII) akhirnya bekerja sama dengan Go-Jek. ASII baru saja mengucurkan dana sebesar US$ 150 miliar (sekitar Rp 2 triliun) kepada perusahaan start up unicorn asli Indonesia ini.
Presiden Direktur PT Astra Internasional Indonesia Tbk Prijono Sugiarto menyampaikan, CEO Go-Jek Nadiem Makarim sebenarnya sudah mendekati perusahaannya sejak tiga tahun lalu.
"Nadiem itu udah lama datang ke saya. Mau pacaran engak jadi, mau pacaran engak jadi. Tapi kami lihat Go-Jek ini istimewa," kata Prijono dalam konferensi pers kerja sama Astra dan Go-Jek di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin, 12 Februari 2018.
Simak: Astra Sebut Kucuran Dana untuk Go-Jek Berasal dari Kas Internal
Prijono berujar, perseroan akhirnya berembuk ketika sekitar dua bulan lalu Nadiem dan co-founder Go-Jek, Andre Soelistyo, datang lagi kepada dirinya. Melihat perkembangan Go-Jek yang mereka nilai signifikan, Astra akhirnya memutuskan untuk bekerja sama. Prijono berujar, salah satu yang membuat kagum yakni ketika Go-Jek masuk dalam daftar 50 perusahaan yang disebut bakal mengubah dunia versi majalah Fortune pada September 2017 lalu. Go-Jek merupakan satu-satunya perusahaan dari Indonesia dan Asia Tenggara.
"Kami memang sudah kepincut dan observe apa yang terjadi dengan Go-Jek ini, dan mereka juga menawarkan kolaborasi yang saya sebut benang merah," kata Prijono.
Benang merah yang dimaksud Prijono yakni core bisnis Go-Jek sebagai penyedia layanan, di antaranya transportasi dan pengantar jasa makanan serta barang yang menggunakan kendaraan roda empat dan sepeda motor sebagai sarananya. Sedangkan industri otomotif Astra, kata Prijono, menguasai 56 persen pangsa pasar kendaraan roda empat dan 75 persen sepeda motor setiap tahunnya.
Nadiem pun berujar investasi Astra ini memiliki arti penting dan historis bagi perusahaan digital miliknya. Dia mengatakan, selama ini kebanyakan investor perusahaan digital merupakan pemodal asing.
"Kalau perusahaan besar seperti Astra melakukan ini (berinvestasi), seharusnya perusahaan-perusahaan Indonesia paradigmanya berubah. Bukan lagi tentang apakah harus berinvestasi, tapi kapan dan berapa banyak akan berinvestasi di digital," kata Nadiem.