TEMPO.CO, Jakarta - Harga batu bara global yang terus meningkat hingga mencapai rata-rata US$ 80 per ton membuat biaya produksi PT PLN (Persero) membengkak hingga Rp 14 triliun pada tahun lalu.
Direktur Pengadaan Strategis PT PLN (Persero) Supangkat Iwan Santoso mengatakan naiknya biaya produksi tersebut lantaran harga batu bara melesat jauh dari asumsi dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) tahun lalu sebesar US$ 63 per ton.
“Kalau tahun kemarin, memang asumsi RKAP kan US$ 63. Ketika rata-rata US$ 80 sekian, itulah yang dampak ke Rp 14 triliun,” katanya di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Senin, 5 Februari 2018.
Dia mengatakan kenaikan harga batu bara tersebut berdampak signifikan pada keuangan perseroan mengingat 60 persen produksi listrik PLN masih berasal dari batu bara. Hal ini yang membuat PLN kemudian menginginkan harga batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap diatur secara khusus.
Saat ini, kata Iwan, rata-rata biaya pembangkitan dari energi batu bara mencapai Rp 650 per kWh. Biaya produksi tersebut masih lebih murah dibandingkan dengan rata-rata biaya produksi dari bahan bakar minyak, yang mencapai sekitar Rp 1.600 per kWh dan gas sekitar US$ 8.
Kendati biaya produksi dari bahan bakar minyak (BBM) dan gas lebih mahal, PLN tidak mengusulkan pengaturan khusus untuk harga BBM dan gas lantaran porsi keduanya dalam bauran energi pembangkit listrik tidak berdampak signifikan.
Menurut data Kementerian ESDM, porsi BBM mencapai 5,81 persen dan gas 24,82 persen. “Karena BBM bukan jadi backbone. Beda dengan batu bara, beban (BB) tidak naik cepat,” ujar Iwan.
BISNIS