TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa mata uang virtual cryptocurrency termasuk Bitcoin bukan alat pembayaran yang sah di Indonesia. Ketentuan tersebut sudah berlaku sejak awal tahun ini.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan bahwa dalam undang-undang, alat pembayaran yang berlaku di Indonesia adalah rupiah. "Kripto (cryptocurrency) kan sudah dilarang," kata Wimboh di Ritz-Carlton, Jakarta Selatan, Kamis, 25 Januari 2018.
Pernyataan Wimboh tersebut merespons adanya peluncuran produk investasi berupa mata uang kripto oleh Aladin Capital, hari ini. Mata uang tersebut dilaporkan telah memiliki jaminan di Bank HSBC dan telah berkembang pesat di beberapa negara, terutama Vietnam.
Dilarangnya mata uang virtual termasuk Bitcoin oleh otoritas harus dipatuhi oleh sektor jasa keuangan. Wimboh menegaskan, otoritas yang mengawasi dan memberikan izin untuk produk investasi hanyalah OJK sehingga lembaga jasa keuangan manapun yang meluncurkan produk investasi harus lapor ke lembaganya. Meski produk investasi tersebut mendapatkan izin dari lembaga luar negeri, OJK tidak akan bertanggung jawab.
“Kalau nonjasa keuangan, ya enggak tahu pengawasnya siapa. Kalau itu individu di luar negeri, masa kami mengawasi orang di luar negeri. Saya tidak tahu, apakah Aladin Capital itu jasa keuangan yang kami awasi,” ujar dia.
Ia pun merasa perlu adanya edukasi kepada masyarakat mengenai segala jenis produk investasi yang ada. “Supaya mereka paham. Kami akan terus mensosialisasikan,” ucap Wimboh. Ia berharap, masyarakat tidak investasi pada mata uang virtual termasuk Bitcoin karena gejolaknya yang sangat tinggi.
“Apa itu cryptocurrency, apa itu Bitcoin, sehingga masyarakat paham dengan risikonya kalau nanti terjadi apa-apa,” ucap Wimboh.