TEMPO.CO, Jakarta - Kenaikan harga minyak mentah belakangan ini tak lantas membuat PT Pertamina (Persero) mengerek harga bahan bakar minyak atau BBM jenis pelayanan masyarakat (public service obligation/PSO). Perusahaan pelat merah itu akan menghormati keputusan pemerintah yang menetapkan harga BBM PSO tak berubah sepanjang Januari hingga Maret mendatang meskipun keuangan perseroan berpotensi terganggu.
"Harga sepanjang Januari, Februari, dan Maret kan sudah diputuskan. Jadi kami mematuhi keputusan pemerintah," kata Direktur Pemasaran Pertamina Iskandar kepada Tempo, Senin, 22 Januari 2018. Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memutuskan harga BBM jenis Premium Rp 6.450 per liter dan Solar Rp 5.150 per liter. Besaran ini tidak berubah sejak awal 2016 lalu.
Baca: Harga Minyak Dunia Naik, Subsidi BBM Sedot Dana Infrastruktur?
Sebelumnya, Pertamina melaporkan, sepanjang Januari-Desember 2017, harga BBM jenis Solar di atas harga pemerintah. Bahkan pada Oktober hingga Desember lalu harga keekonomian Solar mencapai Rp 6.700 per liter atau lebih tinggi Rp 1.550 per liter dibanding harga pemerintah.
Kondisi serupa juga terjadi pada bensin kelas Premium, yang tergolong BBM penugasan. Delta tertinggi terjadi pada April-Juni saat harga keekonomian bensin beroktan 88 ini mencapai Rp 7.600 per liter.
Adapun harga jual Premium di luar Pulau Jawa, Madura, dan Bali adalah Rp 6.450 per liter. Selisih harga untuk Solar nantinya ditanggung pemerintah. Sedangkan untuk Premium, selisih harga akan ditanggung Pertamina.
Berdasarkan kajian sementara Pertamina, jika harga BBM tidak berubah hingga akhir tahun, laba bersih perusahaan diperkirakan hanya US$ 2 miliar. Angka tersebut di bawah asumsi dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan 2018 sebesar US$ 2,4 miliar.
Laba bersih juga berisiko turun dari prognosis perusahaan tahun lalu sejumlah US$ 2,2 miliar. Penurunan laba bisa terjadi apabila rata-rata harga minyak mentah Indonesia hingga Desember mendatang mencapai US$ 55 per barel. Desember lalu, ICP menyentuh US$ 60 per barel. "Itu saja yang bisa kami asumsikan. Kalau ICP bergerak-gerak, ya, kami harus hitung lagi," ujar Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman pada pekan lalu.
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, jika laba tergerus, kemampuan investasi perusahaan bakal berkurang. Padahal Pertamina ditugasi merevitalisasi empat kilang serta membangun dua kilang baru.
Total kebutuhan pendanaan proyek mencapai US$ 45 miliar atau sekitar Rp 500 triliun. Angka ini setara dengan 90 persen nilai aset Pertamina sebesar US$ 50 miliar. Secara bertahap, kebutuhan modal Pertamina membangun kilang—yang salah satunya untuk memproduksi BBM—tahun depan akan mencapai US$ 5,7 miliar. Angka ini terus bertambah hingga di atas US$ 10 miliar mulai 2019.