TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan pemerintah Indonesia perlu melakukan sejumlah hal merespons shutdown yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat. Shutdown yang merupakan penghentian sementara operasional Pemerintahan negara Abang Sam diprediksi berlangsung dari minggu ke empat Januari hingga minggu kedua Februari 2018.
Shutdown merupakan konsekuensi dari adanya ketidaksepakatan antara Presiden dan Kongres dalam penyusunan anggaran Negara khususnya terkait pembiayaan. Adapun departemen yang akan terkena efek penutupan sementara setidaknya Departemen Perdagangan, NASA, Departemen Ketenagakerjaan, Departemen Perumahan dan Departemen Energi.
Baca Juga:
Baca: Shutdown Berpotensi Ganggu Perdagangan Indonesia ke Amerika
Bhima menyebutkan sejumlah hal harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia khususnya mengantisipasi jika shutdown berlangsung dalam jangka panjang lebih dari 2 minggu. Apalagi pertumbuhan ekonomi AS pada tahun 2017 tercatat sebesar 3,2 persen pada triwulan ke-III 2017, atau tercepat dalam 3 tahun terakhir. "Rencana shutdown akan menurunkan prospek ekonomi AS," katanya, Sabtu, 20 Januari 2018.
Bila shutdown berlangsung cukup lama, menurut Bhima, kinerja perdagangan Indonesia ke AS berpotensi terganggu dan kinerja ekspor Indonesia sepanjang 2018 berpotensi menurun. Badan Pusat Statistik mencatat di tahun 2017, porsi ekspor Indonesia ke AS mencapai 11,2 persen dari total ekspor atau senilai US$ 17,1 miliar.
Untuk mengantisipasi dampak ke ekspor, pemerintah didesak untuk mempersiapkan mitigasi risiko. "Salah satunya dengan memperluas pasar ekspor ke negara alternatif sehingga ketergantungan terhadap AS berkurang," tutur Bhima.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menyebutkan realisasi investasi AS di Indonesia berada di peringkat ke 4 sebesar US$ 1,53 miliar atau naik US$ 1,1 miliar dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Tren positif investasi AS pada tahun 2018 bisa terkoreksi akibat terjadinya shutdown, ditambah adanya reformasi kebijakan AS yang mulai berlaku efektif.
Merespons hal itu, Bhima menyarankan pemerintah terus melanjutkan reformasi investasi khususnya percepatan perizinan, deregulasi dan evaluasi insentif fiskal. Harapannya efek negatif investasi AS yang berkurang bisa di off-set oleh kenaikan investasi dari negara lainnya.
Dampak shutdown di pasar keuangan akan berimplikasi pada naiknya yield surat utang yang mencerminkan kenaikan resiko serta keluarnya modal asing dari negara berkembang. Perlu dicatat sepanjang 2017, berdasarkan laporan Bloomberg, dana asing yang keluar dari bursa saham (net sales) Indonesia mencapai US$ 2,96 miliar atau hampir Rp 40 triliun.
Dalam jangka menengah, tekanan keluarnya dana asing menguat dipengaruhi oleh ancaman kenaikan suku bunga Fed rate sebanyak 3 kali hingga akhir tahun, instabilitas geopolitik, proteksionisme perdagangan AS, dan kenaikan harga minyak hingga US$ 80 per barel.
Dengan kondisi tersebut, menurut Bhima, shutdown secara jangka panjang juga bakal berpengaruh terhadap motor pertumbuhan ekonomi yang berasal dari investasi dan ekspor. "Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2018 berada diangka 5,1 persen (year-on-year). Sementara suku bunga acuan 7 days repo rate diperkirakan akan tetap bertahan di 4,25 persen pada bulan Februari 2018 mendatang," katanya.