TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar bidang pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, mengatakan kelangkaan beras medium di publik disebabkan kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, Bustanul menilai kebijakan pemerintah selama ini belum mampu mendukung penyediaan pangan yang dibutuhkan masyarakat.
"Kalau dikelompokkan, ada tiga hal soal kebijakan pemerintah ini. Pertama soal harga eceran tertinggi, kedua soal bantuan pangan non tunai, dan ketiga soal produksi," katanya di Jakarta pada Kamis, 18 Januari 2018.
Baca Juga:
Baca: Beras Premium Yogyakarta Diminati Konsumen Luar Daerah
Menurut Bustanul, kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pada Agustus 2017, yakni Rp 9.450 untuk beras medium dan Rp 12.800 untuk beras premium, dikeluarkan pada waktu yang tidak tepat. Akibatnya, kata dia, justru keberadaan beras medium malah menjadi langka.
"Kelangkaan karena banyak pihak yang memoles atau mengolah beras medium menjadi beras premium. Lagipula, sangat tidak masuk akal menggunakan enforcement untuk menangkap orang yang menjual di atas HET," ujarnya.
Selain itu, terkait dengan kebijakan bantuan pangan nontunai juga sangat tidak masuk akal. Bantuan ini secara tidak langsung juga membuat peran Badan Urusan Logistik (Bulog) berkurang dalam hal menyediakan kebutuhan beras bagi masyarakat.
Akibatnya, bisa dilihat dari jumlah pengadaan beras oleh Bulog yang menurun. Menurut Bustanul, hal itu wajar mengingat meskipun pengadaan dilakukan Bulog, lembaga tersebut tidak bisa menjual lantaran perannya digantikan voucher bantuan pangan.
"Jangankan pakai voucher, bantuan pangan langsung seperti beras sejahtera saja banyak sekali keluhan, seperti kualitas jelek, tidak merata, dan lainnya," ujarnya.
Kemudian, secara produksi, menurut Bustanul, jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Hal ini karena ada persoalan dalam hal penghitungan prediksi jumlah produksi beras yang dilakukan pemerintah. Karena itu, kata dia, pemerintah barus benar-benar bisa menghitung jumlah kekurangan dan kemungkinan yang berhasil dalam produksi beras.