TEMPO.CO, Jakarta - Lonjakan nilai Bitcoin yang melesat hingga 15 kali sepanjang tahun 2017 ini perlu diwaspadai. Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Taye Shim dalam risetnya menyebutkan setidaknya ada lima alasan yang membuat risiko Bitcoin makin tinggi.
Taye menjelaskan, kelima alasan Bitcoin dinilai sangat berisiko tak lain karena sulitnya investor dan regulator mengintervensi ketika ada masalah. Lima alasan itu adalah: aksesibilitas dalam kriptourrency, nilai Bitcoin yang tidak pasti, dan volatilitas harga yang tinggi. Selain itu, masih ada masalah peraturan yang tidak jelas\, dan mengantisipasi pengguna jahat. "Seperti pencucian uang," katanya dalam riset, Senin, 11 Desember 2017.
Baca Juga:
Baca: Mengapa Bitcoin Semakin Digemari di Luar Negeri?
Meskipun dengan keterbatasan tersebut, kata Taye, harga Bitcoin bisa meningkat lebih dari 15 kali lipat karena kenaikan demand oleh Bitcoin yang akan masuk ke future market. Turunan Bitcoin lainnya seperti Bitcoin Cash, Gold, dan sebagainya, dan spekulatif karena tidak ada yang tahu nilai intrinsik Bitcoin.
Risiko akibat keterbatasan transaksi menggunakan Bitcoin itu, kata Taye, yang membuat sejumlah negara seperti Cina, Rusia, Korea Selatan, dan Singapura melarang transaksi mata uang digital tersebut. Di Tanah Air, peraturan tentang Bitcoin sedang dikaji oleh Bank Indonesia dan akhirnya akan mengikuti jejak negara lain yang dimulai pada 2018.
Diciptakan pada tahun 2009, Bitcoin adalah sistem pembayaran kripto dan pembayaran digital di seluruh dunia, yang telah mendapatkan minat global yang luas. Pada tahun 2017, harga Bitcoin telah meningkat lebih dari 15 kali lipat pada 8 Desember.
Bitcoin diklaim sebagai mata uang digital terdesentralisasi pertama karena mata uang tersebut bekerja tanpa repositori sentral atau administrator tunggal (mata uangnya adalah peer to peer). Hingga Februari 2015, lebih dari 100 ribu pedagang dan vendor telah menerima Bitcoin sebagai metode pembayaran. Ini bisa ditukarkan dengan mata uang, produk, dan layanan lainnya, dan juga bisa dijadikan investasi.
Kapitalisasi total pasar kriptografi telah berkembang menjadi US$ 443 miliar, dan Bitcoin menghasilkan US$ 298 miliar (Vs Exxon Mobil MarCap sebesar US$3 50 miliar). Selain itu, nilai harian pasar spot Bitcoin sekitar US$ 2,1 miliar pada 8 Desember 2017.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo sebelumnya juga mengingatkan masyarakat agar tidak menganggap enteng risiko yang mungkin dimunculkan dari investasi menggunakan mata uang digital atau "cryptocurrency" Bitcoin. "Risiko itu adalah sesuatu yang jangan diambil enteng," ujarnya ketika ditemui di Kompleks Bank Indonesia, Jakarta, Senin, 11 Desember 2017.
Pernyataan itu menanggapi pemberitaan soal harga Bitcoin yang belakangan terus menembus rekor level baru. "Jangan kemudian disesali kalau seandainya ada masyarakat yang ingin lebih jauh mengetahui tentang Bitcoin," kata Agus.
Agus menegaskan bahwa mata uang digital seperti Bitcoin tidak dijamin dan merupakan investasi yang tidak diakui di Indonesia saat ini. Selain itu, Bitcoin juga bukan merupakan alat pembayaran yang sah. "Jadi saya selalu mengatakan kepada masyarakat untuk paham bahwa ada risiko dengan instrumen Bitcoin," ujarnya.
Bank Indonesia selaku regulator juga telah mengimbau masyarakat agar tidak berinvestasi dengan mata uang digital, namun memilih produk investasi lain yang lebih sehat dan dijamin.
BISNIS | ANTARA