TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla optimistis Indonesia akan siap masuk ke ekonomi digital sebagaimana digambarkan dalam paket kebijakan ekonomi ke-14 atau roadmap e-commerce Indonesia. Namun, ia menambahkan, ada banyak hal yang harus dipersiapkan juga. Salah satunya keberadaan developer, pengembang aplikasi yang berkualitas.
"Oh iya, pengembang (berkualitas) itu diperlukan," ujar pria yang akrab disapa sebagai JK tersebut ketika diwawancarai khusus oleh Tempo, Rabu, 22 November 2017.
Dalam paket kebijakan ekonomi ke-14, Indonesia memiliki target sepenuhnya masuk ke ekonomi digital pada 2020. Adapun indikator ekonomi digital yang dipakai pemerintah adalah keberadaan 1.000 startup e-commerce dengan valuasi bisnis mencapai US$ 10 miliar dan total transaksi US$ 130 miliar.
Seperti paket-paket kebijakan sebelumnya, pemerintah pun menyusun serangkaian kebijakan yang diharapkan dapat menarik minat technopreneur lokal dan asing untuk mengembangkan startup e-commerce-nya di Indonesia. Beberapa kebijakan yang disiapkan antara lain kredit usaha rakyat (KUR) untuk pengembangan platform, hibah untuk inkubator bisnis, dana universal obligation service (USO) dari provider telekomunikasi untuk pengembangan startup, serta dana bantuan (angel fund) untuk startup yang masih merugi (valley of death).
Baca: Dorong Ekonomi Digital, Rudiantara: Less Regulation is the Best
Dalam kaitannya dengan keberadaan pengembang berkualitas, paket kebijakan ekonomi ke-14 juga menyusun kebijakan-kebijakan pendidikan e-commerce. Dua di antaranya kurikulum e-commerce dan edukasi e-commerce terhadap pelaku usaha. Harapannya, hal tersebut membuat Indonesia bisa memiliki banyak pengembang aplikasi e-commerce berkualitas.
Walaupun kebijakannya sudah disiapkan, JK mengakui tidak mudah bisa memiliki banyak pengembang berkualitas dalam waktu cepat. Apalagi jika mengingat tahun 2020 tinggal tiga tahun lagi.
Karena itu, ia menganggap salah satu solusi yang bisa diambil adalah merekrut pengembang-pengembang luar yang berkualitas. Menurut dia, itu langkah yang umum dilakukan. "Kalau pengembang itu dapat dibeli. Semua bisa saling membeli pengembang," ujar JK.
Vitalnya peran pengembang diakui juga sejumlah venture capital yang mendanai berbagai startup di Asia. Vice President Sequoia Capital Pieter Kemps, dalam event Tech in Asia Jakarta 2017, mengatakan salah satu masalah terbesar ekosistem startup di Indonesia adalah kurangnya pengembang lokal yang berkualitas.
Jika dibandingkan dengan Cina, menurut Kemps, pengembang Indonesia masih ketinggalan. Dia menyebut pengembang Cina sudah setara dengan para pengembang di Amerika Serikat. "Banyaknya perusahaan yang ada, besarnya operasional mereka, serta semakin rumitnya masalah yang ingin mereka selesaikan mengharuskan banyak inovasi (di Cina). Di sini (Indonesia) hal tersebut masih menjadi tantangan," tuturnya.
Kemps pun menyatakan hal yang senada dengan JK bahwa pada akhirnya banyak startup harus mencari pengembang asing untuk menutupi kekurangan. Go-Jek, salah satu portofolio Sequoia Capital, adalah salah satu contoh startup yang giat mencari pengembang luar lewat pembangunan litbang dan pusat data di Bangalore serta Singapura.