TEMPO.CO, Jakarta -Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution meminta industri ritel menyiapkan diri menghadapi perkembangan ekonomi digital terutama e-commerce. "Kita tidak bisa memilih-milih sekarang. Kita hadapi saja ini," kata dia di Gedung Indosat, Jakarta, Kamis, 16 November 2017.
Darmin mengatakan banyak toko ritel yang tutup. Namun hal ini bukan berarti ekonomi sedang melemah. Menurut dia, ekonomi saat ini hanya sedang menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Darmin menuturkan penyesuaian dengan e-commerce sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan transaksi ritel konvensional tercatat melambat dalam lima tahun terakhir dari 12,5 persen menjadi 10 persen. Sementara transaksi e-commerce yang tercatat hanya dari BCA saja selama Januari 2014-Juni 2017 tumbuh 30 kali lipat.
Untuk menghadapi perkembangan ekonomi digital, pemerintah membantu menyiapkan sumber daya manusia melalui pendidikan vokasi. Pendidikan untuk programmer menjadi salah satu prioritas karena jumlahnya belum mencukupi kebutuhan. "Programmer juga mencetaknya susah, tidak bisa tiga bulan," kata dia.
Dengan sumber daya manusia yang memadai, Indonesia diproyeksi mampu menjadi negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020. Pemerintah telah menentukan tiga visi utama yaitu mendorong pertumbuhan e-commerce sebesar 50 persen per tahun pada 2020. Target lainnya adalah tercipta 1.000 digital start-up dengan valuasi bisnis US$ 10 miliar dan transaksi senilai US$ 130 miliar.
Pesatnya perkembangan ekonomi digital diungkapkan pula oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia menyebut transisi perekonomian Indonesia ke ekonomi digital memiliki konsekuensi tersendiri.
Salah satunya regulasi yang mendukung ekonomi digital tersebut. "Itu otomatis. Semua hal (termasuk regulasi) harus diperbaiki, harus direvisi," ujar Kalla di Kantor Wakil Presiden, Selasa, 14 November 2017.
Menurut Ketua Umum asosiasi start up teknologi Indonesia(Atsindo) Handito Joewono, peraturan perdagangan digital harus berpihak kepada produk lokal. "Ini saya rasa penguasaan pasar perdagangan digital (dari) pelaku usaha luar negeri masih dominan. Ini yang harus diubah," kata Handito saat dihubungi Tempo Rabu, 15 November 2017.
Handito melihat, seperti saat hari belanja online nasional, yang dibeli konsumen Indonesia merupakan barang-barang dari luar negeri. Ia mengatakan peraturan atau regulasi yang dibuat nanti harus bertujuan agar produk dalam negeri menjadi tuan rumah di negaranya sendiri, melalui perdagangan digital.
"Perdagangan digital ini merupakan sesuatu yang harus kita sepakati(akan lebih besar ke depan). Harus menjadi landasan untuk pengembangan perdagangan ke depan. Maka kita (harus) menata ulang keseluruhan peraturan perdagangan kita, termasuk perdagangan digital ini," kata Handito saat dihubungi Tempo Rabu, 15 November 2017.
Menurut Handito pengaturan perdagangan digital harus ditata ulang dengan maksud yang jelas. Ia mengusulkan tiga poin mengenai regulasi yang dibutuhkan untuk pengembangan ekonomi digital Indonesia.
Peraturan harus dalam rangka pengembangan perekonomian nasional. Kedua, pengaturan dalam rangka melindungi pelaku usaha nasional. Ketiga, peraturan bertujuan untuk pengembangan produk-produk nasional. "Ada tiga kepentinan itu yang harus ditata ulang," ujar Handito.
Menurutnya peraturan ini perlu diatur secara komperhensif. "Bukan malah dibebaskan. Memang perdagangan digital pada dasarnya bebas, tapi tidak bisa dilepaskan. Kalau negara tidak mau mengatur, akan menjadi masalah di kemudian hari." kata Handito.
Ia menginginkan agar pelaku usaha digital lokal maju. "Memang tidak cukup hanya dengan insentif pajak saja, namun harus dikasih intensif pengembangan teknologi," ujar Handito.
"Ini harus dilakukan usaha besar-besaran untuk membangun kompetensi digital dalam negeri. Ini supaya pelaku usaha nasional, dimudahkan," kata Handito.
VINDRY FLORENTIN | HENDARTYO HANGGI