TEMPO.CO, Semarang - Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) di Jawa Tengah yang dirilis Bank Indonesia pada triwulan ketiga 2017menunjukkan pelambatan dibanding triwulan sebelumnya. Pelambatan kegiatan usaha ini disebabkan oleh penurunan permintaan yang kemudian berimbas pada penurunan penggunaan tenaga kerja, kenaikan tekanan harga jual, dan lesunya aktivitas ekspor dan impor.
Hal tersebut tecermin dari nilai saldo bersih tertimbang (SBT) kegiatan usaha pada triwulan ketiga 2017 yang mencatatkan nilai 14,77 persen. “Ini lebih rendah dibanding capaian pada triwulan kedua 2017 sebesar 36,75 persen,” kata Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah Rahmat Dwisaputra, Rabu, 25 Oktober 2017.
Baca Juga:
Rahmat menjelaskan, SBT merupakan selisih antara persentase responden yang memberikan jawaban meningkat dan yang memberikan jawaban menurun dikalikan dengan bobot sektor dan subsektor. “Pelambatan kegiatan usaha pada triwulan ketiga disebabkan oleh menurunnya permintaan dari dalam dan luar negeri, serta persaingan dengan produk sejenis,” ucapnya.
Baca: Jokowi Minta Permen Dukung Dunia Usaha, Arcandra Bilang Ini
Hal itu berpengaruh pada penggunaan tenaga kerja yang mengalami penurunan dibandingkan dengan periode sebelumnya. SBT penggunaan tenaga kerja pada triwulan ketiga 2017 terpantau negatif, yaitu sebesar minus 9,76 persen atau turun 3,55 persen dari triwulan sebelumnya.
Penurunan SBT penggunaan tenaga kerja terutama terjadi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, juga sektor industri pengolahan. “Responden mengkonfirmasi bahwa penurunan jumlah tenaga kerja didorong adanya penurunan produksi, efisiensi proses kerja,” kata Rahmat. Selain itu, sektor yang ditengarai mengalami penurunan kegiatan usaha adalah sektor jasa dengan SBT minus 0,3 persen.
BI Jawa Tengah juga menemukan harga jual pada triwulan ketiga 2017 terindikasi masih mengalami kenaikan, tapi dengan tekanan yang lebih lemah dibanding triwulan sebelumnya. Hal ini tecermin dari SBT tekanan harga jual sebesar 16,47 persen, lebih rendah dibanding SBT 25,10 persen pada triwulan kedua 2017.
“Hasil survei menunjukkan hampir semua sektor ekonomi mengalami kenaikan harga pada triwulan ketiga 2017 walaupun tidak setinggi kenaikan pada triwulan lalu,” tutur Rahmat. Sebagian besar pelaku usaha yang melakukan peningkatan harga jual didorong kenaikan biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, atau biaya energi.
Anjloknya dunia usaha di Jawa Tengah berpengaruh terhadap ekspor yang ikut turun. Badan Pusat Statistik setempat menyebut nilai ekspor Jawa Tengah pada September 2017 sebesar US$ 498,18 juta atau turun 11,51 persen dibanding ekspor pada Agustus 2017 sebesar US$ 562,99 juta. “Meski demikian, jika dibandingkan dengan September 2016 atau year-on-year, ekspor Jawa Tengah naik sebesar US$ 67,20 juta atau 15,59 persen,” kata Kepala BPS Jawa Tengah Margo Yuwono.
Sedangkan nilai impor yang biasa untuk kebutuhan bahan baku di Jawa Tengah pada September 2017 juga turun US$ 714,74 juta. “Penurunan sebesar 25,75 persen dibanding impor Agustus 2017 sebesar US$ 962,59 juta,” ujar Margo.