TEMPO.CO, Jakarta -Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia memberikan empat rapor merah kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan wakilnya Jusuf Kalla. Ketua KNTI Martin Hadiwinata mengatakan kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan masih belum maksimal dalam mencapai program poros maritim di Indonesia.
"Pertama tidak ada upaya strategis untuk menyelesaikan kondisi wilayah stok perikanan yang mulai memerah karena eksploitasi berlebihan, kasus cantrang yang terus berpolemik dan tidak transpran akan kembali memanjang," kata Hadi dalam diskusi media catatan tiga tahun Poros Maritim Jokowi di Kantor KNPI, Jakarta, Minggu, 22 Oktober 2017.
Kedua, kata dia, program pembangun untuk industri perikanan seperti revitalisasi galangan kapal nasional, dan pemberdayaan koperasi nelayan tidak diusulkan pemerintah dalam rapat kerja pembangunan tahun 2018. Menurut dia, dengan tidak ada usulan tersebut, arah industri perikanan tidak akan berjalan.
Ketiga, kata dia, perbaikan tata kelola asuransi nelayan, utamanya pada mekanisme pencairan asuransi oleh nelayan juga masih rumit dan diperlukan pendampingan intensif kepada mereka. Sejauh ini, Martin melihat tidak ada informasi yang diterima nelayan. "Bahkan nelayan juga terlihat terfasilitasi dari pemerintah," ucapnya.
Terakhir, kata dia, pemerintah tidak relevan hanya berfokus pada pemberian kapal perikanan yang dilakukan selama ini. Menurut dia, yang juga diperlukan nelayan adalah permodalan. Sebabnya, akses permodalan menjadi penting karena syarat bantuan kapal, yaitu kelompok nelayan harus memiliki badan hukum.
Berdasarkan survei yang dimiliki KNTI, dari 8.146 usaha mikro, kecil dan menengah perikanan, mayoritas masalah pengembangan usaha perikanan adalah permodalan yang mencapai 66 persen, pasar 13 persen, manajemen usaha 11 persen, teknologi 5 persen, mitra usaha 3 persen dan sumber daya manusia 2 persen. "Jadi, permodalan yang menjadi masalah besar," ujarnya.
Ia menambahkan pemberian kapal dari pemerintah melalui KKP ke nelayan juga mendapatkan komentar dari Badan Pemeriksa Keuangan pada 2016. Hal ini menunjukan masih banyak masalah persoalan dalam pengelolaan anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sebagai contohnya, Martin melanjutkan pengadaan bantuan kapal nelayan pada 2016 sebanyak 1.716 kapal, hanya terealisasi 754 kapal. Belum lagi, pemberian tersebut mempunyai catatan karena kapal belum terdistribusi seluruhnya.
"Bahkan, perizinan kapal yang belum selesai membuat akhirnya justru mangkrak (kapalnya)," ujarnya. Selain itu, kapal yang diserahterimakan baru 509 unit, dan 201 belum didistribusikan, serta 44 unit masih dikerjakan. "Nelayan juga mengeluh kapal sudah diterima, tetapi izin belum keluar."
IMAM HAMDI