Soekarwo: Obligasi Daerah Berat Ongkos Politiknya
Editor
MC Nieke Indrietta Baiduri
Jumat, 25 November 2016 23:28 WIB
TEMPO.CO, Surabaya -- Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyatakan belum berminat menerbitkan obligasi daerah. Gubernur Jatim, Soekarwo mengatakan lebih memilih menggunakan obligasi korporat sebagai salah satu skema pembiayaan pembangunan infrastruktur di wilayahnya. “Kalau obligasi daerah, ongkos politiknya mahal,” kata Soekarwo dalam acara rapat koordinasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Bank Indonesia di Surabaya, Jumat 25 November 2016.
Rapat yang membahas soal transformasi industri manufaktur tersebut dihadiri Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, dan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia, pejabat tinggi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Selain Gubernur Soekarwo, dari pihak pemerintah daerah hadir beberapa bupati di wilayah Jawa Timur.
Penggunaan obligasi daerah, kata dia, memerlukan pembahasan di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal inilah yang menurutnya berpotensi menimbulkan permasalahan. “Ada pro dan kontra,” ucapnya.
Baca juga:
Bank Indonesia Dorong Pemda Terbitkan Obligasi Daerah
Soekarwo Tawarkan Empat Kemudahan Berinvestasi di Jatim
Soekarwo menyebut sejumlah proyek infrastruktur yang pembiayaannya menggunakan skema obligasi korporasi. Antara lain: proyek pembangunan pelabuhan Probolinggo; Tol Krian (Sidoarjo)-Legundi (Surabaya)-Bunder (Gresik) yang panjangnya sekitar 29 km; pengadaan sapi karena Jatim kekurangan daging sapi, dan proyek pasar induk Jemundo.
Adapun Bank Indonesia mendorong pemerintah daerah untuk menggunakan obligasi daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Keuntungannya, menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara, adalah suku bunga yang lebih kecil dibandingkan obligasi korporasi perbankan. “Cost bisa lebih rendah dari bunga bank,” ucap Mirza dalam rapat koordinasi pusat dan daerah di Surabaya, Kamis sore 24 November 2016.
Obligasi daerah selama lima tahun saja, kata dia, bunganya cuma 8-9 persen. Bandingkan dengan bunga perbankan yang jumlahnya bisa lebih besar dari angka tersebut yakni sekitar 10-11 persen. Hanya saja, konsekuensinya pemerintah daerah sebagai penerbit obligasi mesti bersikap terbuka kepada publik soal keuntungan dan biaya, potensi pendapatan asli daerah, serta Dana Alokasi Umum (DAU). “Karena pembeli obligasi adalah masyarakat, Pemda harus mau transparan,” tuturnya.
Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia, Nanang Hendarsah mengatakan apabila Pemda hanya mengandalkan dari anggaran negara dan perbankan untuk pembangunan daerah, sulit. Menurutnya, Pemda tidak usah takut membiayai proyek infrastrukturnya dengan cara obligasi. Ada aturan bahwa obligasi daerah hanya 0,3 persen dari GDP atau Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto).
Baca juga:
8 Komoditas di Jawa Timur Ini Dapat Subsidi Distribusi |
Cegah Investasi Ilegal, Jawa Timur Bentuk Tim Satgas
Ekonom Universitas Brawijaya, Candra Fajri Ananda berpendapat, obligasi daerah tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kondisi sejumlah kabupaten di Jawa Timur dilihat dari komposisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dana transfer, Candra melanjutkan, mengindikasikan rendahnya kemampuan keuangan untuk pembangunan. Secara umum, menurutnya sejumlah kabupaten dan kota hanya mengandalkan dana transfer. “Hanya beberapa daerah yang di Jatim yang punya PAD di atas 20 persen,” ujar Candra.
Padahal, kata Candra, posisi Jawa Timur sangat signifikan karena menjadi tolok ukur pertumbuhan dan perkembangan Indonesia bagian timur. “Kalau Jatim performa ekonominya buruk, Indonesia bagian timur juga buruk.”
Dengan ketersediaan pendapatan dalam APBD yang relatif terbatas, menurutnya, untuk memenuhi belanja ideal menjadi tidak mudah. Padahal percepatan pembangunan perlu dilakukan untuk meningkatkan daya saing, konektivitas, dan sinergi antar wilayah. Pembanguan infrastruktur dan daya dukungnya juga perlu diupayakan. “Perlu ada alternatif pembiayaan,” ucap Candra.
.
Djustini Septiana, Advisor Pengembangan Bisnis Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan masih ada pemahaman keliru bahwa utang pemerintah tak bisa dialihkan ke pemerintahan berikutnya. “Ada kekhawatiran kalau gubernur atau pemerintahnya ganti maka pemerintahan berikutnya akan menyangkal utang,” tutur dia. Djustini menegaskan, bahwa itu adalah utang Pemda dan bukan gubernur secara perseorangan.
NIEKE INDRIETTA