TEMPO.CO, Surabaya – Bank Indonesia mendorong pemerintah daerah untuk menggunakan obligasi daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Keuntungannya, menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara, adalah suku bunga yang lebih kecil dibandingkan obligasi korporasi perbankan. “Cost bisa lebih rendah dari bunga bank,” ucap Mirza dalam rapat koordinasi pusat dan daerah di Surabaya, Kamis sore 24 November 2016.
Obligasi daerah selama lima tahun saja, kata dia, bunganya cuma 8-9 persen. Bandingkan dengan bunga perbankan yang jumlahnya bisa lebih besar dari angka tersebut. Hanya saja, konsekuensinya pemerintah daerah sebagai penerbit obligasi mesti bersikap terbuka kepada publik soal keuntungan dan biaya, potensi pendapatan asli daerah, serta Dana Alokasi Umum (DAU). “Karena pembeli obligasi adalah masyarakat, Pemda harus mau transparan,” tuturnya.
Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia, Nanang Hendarsah menegaskan pentingnya penerbitan obligasi daerah sebagai sumber alternatif pembiayaan proyek infrastruktur daerah. Apabila hanya mengandalkan dari anggaran negara dan perbankan untuk pembangunan daerah, sulit. Itu sebabnya, “Pembiayaan non-bank sangat penting,” ucapnya.
Menurutnya, Pemda tidak usah takut membiayai proyek infrastrukturnya dengan cara obligasi. Ada aturan bahwa obligasi daerah hanya 0,3 persen dari GDP atau Gross Domestic Product. (Produk Domestik Bruto). Hingga saat, ini baru dua pemda yang telah memenuhi syarat untuk menerbitkan obligasi daerah yakni DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kedua provinsi tersebut masih dalam proses administrasi.
Ihwal Provinsi Jawa Timur, Ekonom Universitas Brawijaya, Candra Fajri Ananda berpendapat, sebenarnya juga memerlukan obligasi daerah. Keuntungannya antara lain, tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; mampu mendorong percepatan pembangunan infrastruktur di daerah; mendorong kerja sama antar daerah, antara Pemda dengan BUMN dan BUMD, dan antara Pemda dengan masyarakat; serta adanya kendali terhadap pola expenditure di Pemda melalui perjanjian pinjaman. Dia menyebut seluruh proyek infrastruktur di Jawa Timur senilai sekitar Rp 800 miliar.
Kondisi sejumlah kabupaten di Jawa Timur dilihat dari komposisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dana transfer, Candra melanjutkan, mengindikasikan rendahnya kemampuan keuangan untuk pembangunan. Secara umum, menurutnya sejumlah kabupaten dan kota hanya mengandalkan dana transfer. “Hanya beberapa daerah yang di Jatim yang punya PAD di atas 20 persen,” ujar Candra.
Padahal, kata Candra, posisi Jawa Timur sangat signifikan karena menjadi tolok ukur pertumbuhan dan perkembangan Indonesia bagian timur. “Kalau Jatim performa ekonominya buruk, Indonesia bagian timur juga buruk.”
Dengan ketersediaan pendapatan dalam APBD yang relatif terbatas, menurutnya, untuk memenuhi belanja ideal menjadi tidak mudah. Padahal percepatan pembangunan perlu dilakukan untuk meningkatkan daya saing, konektivitas, dan sinergi antar wilayah. Pembanguan infrastruktur dan daya dukungnya juga perlu diupayakan. “Perlu ada alternatif pembiayaan,” ucap Candra.
.
Djustini Septiana, Advisor Pengembangan Bisnis Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui hingga kini belum ada Pemda yang menerbitkan obligasi daerah. Dia mengungkapkan beberapa kendala mengapa Pemda masih enggan menggunakan opsi obligasi daerah untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur daerahnya. Pertama, hampir seluruh Pemda belum memahami obligasi daerah. “Kalau Pemda enggak tahu itu apa dan gunanya, bagaimana mau menerbitkan?” ucapnya.
Kedua, permasalahan sumber daya manusia. Pemda membutuhkan tenaga-tenaga di bidangnya untuk mempraktekkan good governance. Sebab, menerbitkan obligasi daerah otomatis Pemda dituntut untuk bersikap transparan kepada publik. Ketiga, masalah politik. Eksekutif dan legislatif mesti menjaga hubungan baik.
Keempat, pemahaman keliru bahwa utang pemerintah tak bisa carry over ke pemerintahan berikutnya. “Ada kekhawatiran kalau gubernur atau pemerintahnya ganti maka pemerintahan berikutnya akan menyangkal utang,” tutur dia. Djustini menegaskan, bahwa itu adalah utang Pemda dan bukan gubernur secara perseorangan.
NIEKE INDRIETTA