Ekonom UGM: Ada Perlambatan, tapi Indonesia Belum Krisis

Reporter

Editor

Saroh mutaya

Kamis, 3 September 2015 10:05 WIB

Presiden Joko Widodo menerima kunjungan Direktur Operasional IMF, Christine Lagarde di Istana Merdeka, Jakarta, 1 September 2015. Jokowi mengatakan IMF menilai Indonesia memiliki kemampuan untuk bertahan menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Tempo/ Aditia Noviansyah

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom menegaskan, kondisi perekonomian Indonesia saat ini tidak dalam fase krisis. "Menurut saya, enggak. Segala hormat saya bagi semua yang mengatakan krisis ya kok rasanyaenggak krisis ya. Kalau bicara potensi krisis selalu ada, iya," ujar ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono, di kompleks Bank Indonesia, Rabu, 2 September 2015.

Menurut dia, melihat indikator perekonomian Indonesia saat ini, yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan cadangan devisa, belum menunjukkan tanda Indonesia masuk dalam kondisi krisis. "Cuma, kalau melihat indikator sekarang, kayaknya enggak ya, masih belum. Perlambatan yang cukup lumayan, iya, tapi ini kan imbas dari ekonomi Cina," ucapnya

Tony berujar, perekonomian Cina sebelumnya bisa bertumbuh sebesar 13 persen, tapi sekarang pertumbuhan ekonomi Cina hanya diprediksi 6,3 persen. "Tahun ini paling cuma 6,3 persen, tidak 7 persen lagi. Jadi kepangkas separuh. Dari 13 persen kan cuma separuhnya. Jadi Indonesia tumbuh 4,7-4,8 persen tahun ini. Tahun depan kondisinya masih samalah. Jadi cukup wajar, proporsionallah. Cina jadi 6,3-6,5 persen dan Indonesia jadi 4,7 persen itu masih baik," tuturnya.

Walaupun kondisi ekonominya masih terbilang aman, Indonesia perlu waspada karena nilai tukar rupiah saat ini mencapai Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat. "Tapi tidak berarti kita tidak waspada ya, karena bagaimanapun kurs Rp 14 ribu itu membuat orang takut. Apa pun alasannya, itu enggak bener. Kurs Rp 14 ribu itu harus dikembalikan ke level yang masuk akal," kata Tony.

Menurut dia, level nilai tukar rupiah yang fundamental saat ini seharusnya berada pada 12.500 sampai 13 ribu per dolar AS.

Dia menilai tertekannya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini karena kecemasan berlebihan yang berdampak pada kepemilikan mata uang dolar.

"Celakanya, sekarang setiap orang di dunia ketika cemas, pegangnya dolar. Kalau dulu cemas, orang masih bisa pegang euro, yen. Tapi sekarang enggak bisa megang yen, karena ekonomi Jepang stagnan," ucap Tony.

Sebelumnya, Bank Indonesia juga menegaskan, kondisi ekonomi Indonesia tidak memasuki fase krisis, meskipun nilai tukar rupiah bergejolak hingga menembus 14.100 per dolar AS.

"Kami sampaikan tidak. Malah fundamental ekonomi Indonesia kita membaik. Tapi ekonomi dunia terus memburuk, apalagi ada sentimen Fed Rate akan naik dan devaluasi yuan," ujarnya.

Menurut dia, kondisi saat ini berbeda dengan 1997-1998. Waktu itu, pertumbuhan ekonomi merosot dari 4,7 persen tahun 1997 menjadi -13,7 persen pada 1998. Bahkan inflasi waktu itu melonjak dari 10,31 persen tahun 1997 menjadi 77,63 persen pada 1998.

Kondisi tersebut berbeda dengan saat ini: ekonomi 2014 yang tumbuh 5,1 persen turun 4,67 persen pada kuartal kedua 2015. Inflasi juga rendah dari posisi 2014 sebesar 8,36 persen menjadi 7,26 persen pada kuartal II 2015.

"Inflasi 77 persen saat krisis. Kita ingat BI Rate naik 57 persen. Sekarang inflasi mengarah ke 4,5 persen. Kami bersama pemerintah akan fokus jaga inflasi," ujar Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo.

Dia menjelaskan, pada krisis 1997 dan 1998, current account deficit atau CAD Indonesia masing-masing berada pada -1,6 persen terhadap PDB dan -3,8 persen terhadap PDB.

Saat ini kondisi CAD Indonesia sebesar -3,09 persen terhadap PDB pada 2014 dan -2,16 persen pada kuartal II 2015. Cadangan devisa Indonesia pada 1997 senilai US$ 21,41 miliar, sementara pada 1998 mencapai US$ 23,76 miliar. Sedangkan cadangan devisa pada 2014 sebesar US$111,96 miliar, dan pada kuartal II 2015 turun tipis menjadi US$ 107,55 miliar.

Adapun rasio utang luar negeri (external debt) Indonesia pada 1997 dan 1998 masing-masing 100,81 persen dan 126,69 persen, sedangkan external dept pada 2014 sebesar 33,06 persen dan pada kuartal II 2015 mencapai 34,42 persen.

"Cadangan devisa sekarang pada US$ 107 miliar itu untuk biayai tujuh bulan impor. Cadangan ini harus kita kelola dengan hati-hati," ucapnya.

Agus juga menyoroti perubahan kurs rupiah pada krisis 1997 dan 1998, yang masing-masing mengalami depresiasi mencapai 131 persen dari 2.363 menjadi 5.450 per dolar AS dan sebesar 48 persen dari 5.450 per menjadi 8.050 per dolar AS.

Pada 2014, rupiah melemah 1,81 persen dari 12.160 menjadi 12.485 per dolar AS.

"Pada 2015 ini rupiah hanya melemah 13,4 persen dari awal tahun hingga bulan Agustus, dari 12.485 menjadi 14 ribu per dolar AS," tutur Agus.

Dia mengatakan Indonesia pada waktu krisis 1998 tidak mempunyai kerangka kerja menargetkan sasaran inflasi dan tidak mempunyai tim pengendali inflasi daerah (TPID).

"Saat ini kami punya TPID di 34 provinsi untuk kendalikan inflasi daerah. Saat krisis 1998 itu juga tidak terdapat batasan defisit fiskal dan utang pemerintah serta belum ada lembaga penjamin simpanan. Kalau sekarang, ada jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi maksimal 3 persen PDB dan total outstanding utang pemerintah 60 persen dari PDB," ujar Agus.

BISNIS

Berita terkait

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

1 hari lalu

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

Perkembangan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) 2023 tumbuh positif.

Baca Selengkapnya

Hadiri WEF, Airlangga Beberkan Tantangan RI Ciptakan Lapangan Kerja

3 hari lalu

Hadiri WEF, Airlangga Beberkan Tantangan RI Ciptakan Lapangan Kerja

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bicara besarnya tantangan Indonesia di bidang tenaga kerja, khususnya dalam hal penciptaan lapangan kerja.

Baca Selengkapnya

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

3 hari lalu

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

BI sedang mempersiapkan instrumen insentif agar mendorong pertumbuhan ekonomi.

Baca Selengkapnya

Bank Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi Berdaya di Tengah Gejolak Global

7 hari lalu

Bank Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi Berdaya di Tengah Gejolak Global

Bank Indonesia prediksi pertumbuhan ekonomi dalam kisaran 4,7 hingga 5,5 persen. Masih berdaya di tengah gejolak global.

Baca Selengkapnya

Pasar Keuangan Global Kian Tak Pasti, BI Perkuat Bauran Kebijakan Moneter

7 hari lalu

Pasar Keuangan Global Kian Tak Pasti, BI Perkuat Bauran Kebijakan Moneter

BI memperkuat bauran kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global.

Baca Selengkapnya

Terpopuler: Prabowo-Gibran Diharap Percepat Pertumbuhan Ekonomi, Tanggal Pendaftaran CPNS 2024

8 hari lalu

Terpopuler: Prabowo-Gibran Diharap Percepat Pertumbuhan Ekonomi, Tanggal Pendaftaran CPNS 2024

Berita terpopuler: Prabowo-Gibran diharap bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi usai dilantik, pendaftaran CPNS 2024 dibuka.

Baca Selengkapnya

Rektor Paramadina Ingatkan Pemerintah Tak Remehkan Dampak Konflik Iran-Israel

9 hari lalu

Rektor Paramadina Ingatkan Pemerintah Tak Remehkan Dampak Konflik Iran-Israel

Didik mengingatkan agar pemerintah tidak menganggap enteng konflik Iran-Israel. Kebijakan fiskal dan moneter tak boleh menambah tekanan inflasi.

Baca Selengkapnya

Di Washington DC, Sri Mulyani Beberkan soal Bonus Demografi Muda hingga Reformasi Kesehatan

11 hari lalu

Di Washington DC, Sri Mulyani Beberkan soal Bonus Demografi Muda hingga Reformasi Kesehatan

Sri Mulyani menekankan pentingnya peningkatan kualitas SDM, baik pada bidang pendidikan maupun kesehatan sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi nasional.

Baca Selengkapnya

Konflik Iran-Israel, Ekonomi Indonesia Terancam Turun di Bawah 5 Persen

11 hari lalu

Konflik Iran-Israel, Ekonomi Indonesia Terancam Turun di Bawah 5 Persen

Pertumbuhan ekonomi Indonesia terancam turun menjadi di bawah 5 persen karena dampak konflik Iran-Israel.

Baca Selengkapnya

Ekonom Ingatkan Pemerintah Antisipasi Dampak Konflik Iran-Israel

14 hari lalu

Ekonom Ingatkan Pemerintah Antisipasi Dampak Konflik Iran-Israel

Ekonom sekaligus Pendiri Indef Didik J. Rachbini mengingatkan pemerintah Indonesia, termasuk Presiden terpilih dalam Pilpres 2024, untuk mengantisipasi dampak konflik Iran dengan Israel.

Baca Selengkapnya