TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom sekaligus Pendiri Indef, Didik J. Rachbini, mengingatkan pemerintah Indonesia, termasuk presiden terpilih dalam Pilpres 2024, untuk mengantisipasi dampak konflik Iran dengan Israel. Ia berujar, konflik tersebut meningkatkan eskalasi konflik di Timur Tengah dan sulit dihentikan lantaran hampir tidak tidak ada faktor yang mendamaikan.
“Bagi Indonesia, bagi presiden baru terpilih, kondisi tidak pasti ini bisa dan akan membuat berantakan dalam menjalankan kebijakan ekonominya, sekaligus menambah beban baru bagi masyarakat,” kata Didik melalui keterangan tertulis, Kamis, 18 April 2024.
Saat ini pun, kata Didik, dampak psikologis konflik tersebut sudah terasa. Karena itu, ia mengatakan pemerintah perlu ahli komunikasi publik yang mengerti masyarakat.
“Untuk calon pemerintah baru, mulai sekarang melakukan kebijakan komunikasi publik yang berhubungan dengan antisipasi kebijakan dari dampak perang Iran dengan Israel,” kata Didik.
Lebih lanjut, Didik menuturkan, sasaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan angan-angan lain dalam kampanye perlu dilupakan. Pemerintah baru, kata dia, mesti berfokus pada daya tahan dan daya beli masyarakat. Selain itu, mesti mengantisipasi terjadinya pengangguran besar-besaran.
Didik menjelaskan, ada tiga kebijakan yang harus diutamakan untuk menjaga dan melindungi golongan bawah dan rentan. Pertama, mengendalikan harga-harga atau menjaga inflasi.
“Ini merupakan duet pemerintah dan Bank Indonesia,” tuturnya.
Didik mengatakan Bank Indonesia berperan penting dalam mengendalikan sisi moneter. Sejauh ini, ia menilai, Bank Indonesia cukup baik dalam melaksanakan pengendalian inflasi dan lebih keras lagi menjalankannya saat dunia dalam puncak ketegangan. Sementara itu, dari sektor riil, pemerintah pusat dan daerah wajib memantau harga-harga kebutuhan pokok rakyat dari hari ke hari.
“Bahkan, memantau dari jam ke jam,” ujar Didik.
Kebijakan kedua, Didik melanjutkan, adalah kebijakan fiskal. Ini adalah satu-satunya instrumen kebijakan yang langsung dipakai pemerintah. Kebijakan fiskal harus dijaga agar pengeluaran tetap produktif dan mampu menjaga masyarakat bawah dan rentan.
“Kebijakan fiskal yang baik adalah prudent, berhati-hati dan mampu mengendalikan defisit,” tutur Didik. “Jangan jor-joran, proyek besar dikendalikan, dan populisme serampangan (dikendalikan).”
Kebijakan selanjutnya, kata Didik, adalah kebijakan untuk mempertahankan produktivitas dan dunia usaha di dalam negeri. Terlebih, sektor dalam negeri merupakan bagian terbesar, yakni 75 persen terhadap produk domestik bruto.
“Menjaga ekonomi dan usaha dalam negeri, terutama menengah-kecil, sangat penting di masa genting,” ujar Didik.
Ia juga mengatakan, kebijakan perdagangan luar negeri mesti diarahkan ke kawasan yang sedikit terpengaruh perang. Sementara ini, jalur ke Eropa Timur dan Eropa Tengah masih terganggu. Namun, pemerintah bisa mengarah ke mitra dagang di kutub ekonomi lain yang akan hidup terus, seperti Jepang, Cina, India, dan negara-negara Asean.
Pilihan Editor: Besok, Luhut dan Menlu Cina Wang Yi Rundingkan soal Kereta Cepat hingga IKN di Labuan Bajo