TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah diminta mengurangi utang luar negeri hingga 67 persen. Dukungan berupa komitmen politik dinilai mampu melakukannya.“Tidak ada alasan pemerintah tidak mencontoh Skema Napoli-Nigeria yang disetujui Paris Club,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan PraKarsa Binny Buchori, Selasa (2/8).Saat ini perhitungan total utang luar negeri Indonesia US$ 80 miliar. Sebanyak US$ 41 miliar merupakan utang kepada Paris Club. Dengan pengurangan hingga 67 persen itu, nilai utang Indonesia sekitar US$ 20 miliar. Menurut Binny, tidak ada alasan bagi pemerintah tidak menjalankan komitmen politiknya dalam mengurangi utang. Karena Indonesia dan Nigeria dinilai memiliki banyak kesamaan, misalnya aspek sejarah dan struktur utang yang sama persis. “Kesamaan lainnya, memiliki reputasi sebagai negara korup, penghasil minyak, pemilu demokratis sedang berlangsung,” ucapnya. Pada 30 Juni lalu , Paris Club mengumumkan pemotongan utang sebesar 67 persen untuk Nigeria dengan skema Napoli. Artinya, Paris Club menghapus utang Nigeria sebesar US$ 15,5 miliar. Dengan skema Napoli itu, pemerintah Nigeria tetap teguh tidak melaksanakan program yang ditawarkan IMF. Namun, malah menyusun program National Economic Empowerment and Development Strategies (NEEDS) yang fokus pada pengurangan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan kemakmuran. Selain itu, pemerintah Nigeria juga memberlakukan disiplin fiskal melalui commodity price based fiscal rule, yakni memasukkan pendapatan dari penjualan minyak mentah ke dalam dana cadangan. Pemerintah juga mendirikan badan untuk mengawasi kegiatan korupsi dan perbaikan keuangan publik. Dia menilai, pemerintah Indonesia harus menyesuaikan diri dengan cara pandang negara-negara G-8 yang kini mengusahakan penghapusan utang multilateral 100 persen untuk Afrika Selatan. Direktur Utama Indef Fadhil Hasan menambahkan, pemerintah harus mengubah skenario dalam pengelolaan utang luar negeri. “Jangan terjebak dalam skenario penjadwalan ulang utang luar negeri,” katanya.Menurut dia, dibutuhkan komitmen politik kuat dari pemerintah. Tidak hanya terkait dengan kebijakan makroekonomi, tapi juga yang bersifat mikro. “Pemerintah harus bisa meyakinkan kreditor ada program komprehensif rehabilitasi utang demi mengatasi kemiskinan. Harus ada perbaikan struktur kelembagaan,” ujarnya. Ia menyatakan, pemerintah Indonesia tidak perlu merasa kawatir dikucilkan oleh negara-negara lain karena menolak program IMF dan mengedepankan program seperti NEEDS. “Toh Nigeria tidak dikucilkan. Juga tidak ada masalah dengan pemeringkatan utang. Nigeria masih diberi akses utang lunak ke International Development Association (IDA) dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD).” rr. ariyani