TEMPO Interaktif, Jakarta:Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Sunoto mengatakan pihaknya tetap menolak perubahan SK 355/MPP/Kep/2005 oleh Menteri Perdagangan tentang dibukanya keran ekspor bahan baku rotan.Asmindo menganggap hal itu sama saja dengan memberi peluru untuk negara luar yang kemudian sasaran tembaknya Indonesia. Sunoto mengatakan penolakan ini didasarkan pada realita bahwa Indonesia adalah negara penghasil rotan terbesar di dunia dengan asumsi 250 ribu sampai 400 ribu ton per tahun. Sekitar 80 persen bahan baku rotan dunia dimiliki Indonesia, kata Sunoto. Namun, Indonesia belum mampu menghasilkan produk yang berteknologi tinggi dengan harga bersaing. Mengenai kelebihan pasokan bahan baku rotan yang terjadi beberapa waktu lalu, menurut Sunoto, disebabkan industri mebel dan kerajinan Indoesia sewaktu-waktu tidak mampu menyerap seluruh pasokan bahan baku.Namun, hal ini dapat diatasi dengan cara pemerintah melibatkan diri sebagai badan penyangga untuk membeli bahan baku rotan melalui BUMN, mengimbau pengusaha bahan baku rotan untuk melakukan kegiatan industri barang jadi, serta memberikan kesempatan kepada investor untuk berinvestasi di wilayah industri rotan. Jadi kita tidak perlu ekspor bahan baku rotan, katanya.Berdasarkan data Asmindo, terdapat 366 industri mebel dan rotan di Indonesia yang mampu menyerap sekitar 2,6 juta tenaga kerja dengan devisa lebih dari US$ 337 juta pada tahun 2004 atau naik 7,5 persen dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar US$ 313 juta.Sunoto menambahkan, apapun keputusan Menteri Perdagangan, ASMINDO akan menghormati dan mematuhi. Namun kami tidak bertanggung jawab jika terjadi penurunan devisa dan meningkatnya pengangguran, tegasnya.Rini Kustiani
Nilai Ekspor Indonesia 2022 Tumbuh 29,4 Persen, Komoditas Apa yang Berkontribusi?
11 Januari 2023
Nilai Ekspor Indonesia 2022 Tumbuh 29,4 Persen, Komoditas Apa yang Berkontribusi?
Nilai ekspor Indonesia pada 2022 tumbuh 29,4 persen dengan nilai US$ 268 miliar atau sekitar Rp 4.144 triliun. Beberapa komoditas seperti besi baja, bahan bakar fosil, dan minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) berkontribusi dalam peningkatan tersebut.