Kritisi Rencana Kenaikan Tarif KRL Berbasis NIK, Pengamat Transportasi: Angkutan Umum, Tarifnya Umum
Reporter
Riri Rahayu
Editor
Grace gandhi
Jumat, 13 September 2024 07:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat transportasi, yang juga Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang mengkritisi rencana pemerintah menaikkan tarif KRL berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Ia menilai langkah tersebut bukan kebijakan yang tepat.
Pasalnya, layanan KRL merupakan public service obligation (PSO) atau kewajiban pelayanan publik. Deddy menuturkan, pemerintah memberikan pelayanan KRL sebagai imbal balik karena masyarakat sudah membayar pajak. PSO, kata dia, juga berbeda dengan subsidi yang menyasar kelompok masyarakat tertentu.
"Lagipula, yang namanya transportasi umum ya tarifnya umum," kata Deddy kepada Tempo, Rabu, 11 September 2024.
Deddy juga mengatakan pembedaan tarif KRL berdasarkan NIK bisa memicu konflik antarpenumpang. Selama ini, penumpang sudah saling berebut kursi lantaran ketersediannya yang tidak sebanding dengan jumlah penumpang. Menurutnya, konflik semacam itu akan semakin besar jika pemerintah menaikkan KRL berbasis NIK.
"Penumpang yang membayar mahal pasti akan merasa lebih berhak mendapat kursi," ujar Deddy. "Secara hukum bisnis memang tidak salah. Tapi kan tidak seperti itu."
Rencana kenaikan tarif KRL berbasis NIK muncul dari data di Buku Nota Keuangan RAPBN 2025 dari pemerintah yang diserahkan ke DPR. Mengutip Antara, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan pemberian subsisi tiket KRL berbasis NIK pada 2025 masih bersifat wacana.
Selanjutnya: Menurut Budi Karya, belum ada keputusan final ihwal kenaikan tarif KRL...
<!--more-->
Menurut Budi Karya, belum ada keputusan final ihwal kenaikan tarif KRL dengan skema baru ini. Namun, Budi Karya tidak memungkiri Kemenhub sedang melakukan studi agar semua angkutan umum bersubsidi digunakan masyarakat yang berhak menerima.
Kendati demikian, wacana tersebut kadung ramai dan membuat KRL Mania gelisah. Musababnya, masih ada potensi kebijakan tersebut diterapkan di waktu mendatang. Ketua Kepala Komunikasi KRL Mania Gusti Raganata juga khawatir skema kenaikan tarif KRL berbasis NIK sama dengan kebijakan mencabut PSO KRL.
"Kalau ada perubahan tarif, otomatis pengeluaran kelas menengah pengguna KRL bertambah," kata Gusti. "Ini bisa menghajar ekonomi juga, karena masyarakat akan memindah pengeluaran konsumtif ke transportasi."
Oleh karena itu, KRL Mania menolak rencana kenaikan tarif berbasis NIK. Alih-alih menaikkan tarif KRL, Gusti berharap pemerintah berbenah. Menurutnya, perlu ada pembenahan dan peningkatan layanan. Misalnya, meningkatan headway atau jarak waktu kedatangan dan keberangkatan KRL, terutama pada jam-jam sibuk.
"Di rush hour atau jam-jam biasanya, harusnya (headway) tetap lima menit," ujar Gusti. "Infrastruktur di stasiun juga perlu dibenahi karena sering ada kerusakan tapi penangannnya lama hingga viral."
Pilihan Editor: Terpopuler: ICW Undang Kaesang Klarifikasi Jet Pribadi, IKN Bakal jadi Produk Gagal