Partai Buruh Sebut Iuran Tapera Tak Bakalan Cukup untuk Beli Rumah saat Pensiun atau Di-PHK
Reporter
Novali Panji Nugroho
Editor
Grace gandhi
Rabu, 29 Mei 2024 15:32 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai kebijakan pemerintah memotong gaji buruh atau pekerja swasta untuk Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera tidak tepat dilakukan di kondisi sekarang ini.
Menurut dia, kebijakan pengenaan iuran untuk Tapera ini justru berpotensi menambah beban buruh dan rakyat.
Adapun kebijakan pemotongan gaji pekerja swasta sebesar 3 persen untuk Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera yang diteken Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada 20 Mei 2024. Beleid ini merupakan revisi PP Nomor 25 Tahun 2020.
Partai Buruh, kata Said Iqbal, menolak kebijakan soal iuran Tapera dijalankan saat ini. Alasannya, kebijakan ini belum memiliki kepastian soal buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program tersebut.
"Jika dipaksakan, hal ini (Tapera) bisa merugikan buruh dan peserta Tapera," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu, 29 Mei 2024. Menurut perhitungan dia, iuran Tapera sebesar 3 persen bagi pekerja swasta tidak bakal mencukupi buruh untuk membeli rumah saat usia pensiun atau diputus hubungan kerjanya.
Ia menjelaskan saat ini upah rata-rata buruh di Indonesia hanya sebesar Rp 3,5 juta per bulan. Jika kebijakan Tapera yang memotong 3 persen gaji buruh ini diterapkan, maka iuran yang dibayarkan buruh setiap bulan sebesar Rp 105 ribu atau Rp 1,2 juta per tahun.
Dari perhitungan itu, ujarnya, dalam waktu 10 sampai 20 tahun mendatang uang yang terkumpul dari hasil iuran Tapera bagi buruh atau pekerja swasta mencapai Rp 12,6 juta sampai Rp 25,2 juta. "Pertanyaannya, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah seharga Rp 12,6 juta?" ucap Said Iqbal.
Selanjutnya: Said Iqbal menilai, sekalipun akumulasi iuran Tapera puluhan tahun itu....
<!--more-->
Said Iqbal menilai, sekalipun akumulasi iuran Tapera puluhan tahun itu ditambah dengan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera, jumlahnya tetap belum memungkinkan bagi buruh untuk memiliki rumah. "Jadi mustahil bagi buruh dan peserta Tapera untuk punya rumah. Sudahlah membebani potongan upah buruh tiap bulan, di masa pensiun juga tidak bisa memiliki rumah," katanya.
Said Iqbal juga menyatakan dalam lima tahun terakhir daya beli buruh turun hingga 30 persen. Penyebabnya karena tidak ada kenaikan upah selama tiga tahun terakhir. Dengan kondisi upah buruh seperti itu, kebijakan pemotongan gaji untuk Tapera semakin membebani hidup buruh. "Apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha," ucapnya.
Padahal, kata Said Iqbal, tanggung jawab pemerintah yang tertuang dalam UUD 1945 adalah menyiapkan dan menyediakan rumah untuk rakyat dengan harga murah. Namun, ia mengatakan, dalam program Tapera ini pemerintah justru hanya berperan sebagai pengumpul iuran rakyat dan buruh, tanpa berkontribusi membayar iuran untuk rakyat.
Ia mengatakan, pemerintah menunjukkan ketidakadilannya dalam skema pengenaan iuran untuk Tapera ini. "Sepanjang tidak ada kontribusi iuran dari pemerintah sebagaimana program penerima bantuan iuran dalam program Jaminan Kesehatan, Tapera tidak tepat dijalankan sekarang," ujarnya.
Said Iqbal juga mewanti-wanti pemerintah agar tidak memaksakan program Tapera ini. Apalagi jika hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat yang dinilai berpotensi terjadi korupsi.
"Jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera, sebagaimana terjadi di Asabri dan Taspen. Jadi perlu adanya pengawasan yang melekat sebelum Tapera dijalankan," katanya.
Pilihan Editor: Profil Ali Rashed Alabbar, Pemilik Burj Khalifa yang Bertemu dengan Prabowo, Diajak Keliling IKN