Ancaman Risiko Lingkungan dari Rempang Eco City, Bahlil Andalkan Amdal
Reporter
Riri Rahayu
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 26 September 2023 12:27 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan pemilihan Tanjung Banon sebagai titik relokasi masyarakat Pulau Rempang sudah dilakukan melalui kajian. Begitu pula dengan risiko pencemaran yang mungkin berdampak ke masyarakat gara-gara titik relokasi hanya berjarak 3 kilometer.
Hal ini setelah pemerintah membatalkan rencana relokasi ke Pulau Galang karena masyarakat, kata Bahlil, meminta relokasi tetap dilakukan di Pulau Rempang. "Kan ada Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan)," ucap Bahlil dalam konferensi pers di Kementerian Investasi pada Senin, 25 September 2023.
Melalui Amdal, Bahlil menuturkan, pemerintah bakal menyeleksi apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Begitu pula dengan penggunaan teknologinya.
"Kalau dilihat teknologi nggak pas dan mencemari lingkungan, kami akan bilang jangan pakai teknologi itu," ucap Bahlil. "Yakin lah, kami mau bikin yang baik-baik."
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia menyoroti risiko dampak lingkungan dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City di Batam, Kepulauan Riau. Terutama jika Xinyi Group, investor asal Cina, merealisasikan investasi dan membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa.
Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Indonesia Satrio Manggala sempat menyoroti tawaran pemerintah soal relokasi masyarakat yang tetap akan di Pulau Rempang. "Justru ini sangat mengkhawatirkan ketika permukiman berdekatan dengan operasi industri itu," kata Satrio dalam diskusi Konnflik Agraria Rempang dan Penggusuran Skala Nasional yang digelar virtual pada Selasa, 19 September 2023.
Pembuangan limbah cair dan zat berbahaya
<!--more-->
Dalam analisisnya, Satrio juga mengatakan jika tersebut beroperasi, maka ada jutaan liter air yang digunakan setiap hari. "Ini akan berkaitan dengan kondisi geografis Pulau Rempang yang merupakan pulau kecil, rentan kalau penggunaan air berlebihan," ujarnya.
Kemudian, soal pembuangan limbah cair dan zat berbahaya. Apalagi, menurut dia, ada catatan pencemaran limbah cair dalam operasi Xinyi di Kanada. Ia pun khawatir hal itu bisa mengancam Pulau Rempang. "Beberapa komponen limbah itu dikhawatirkan merusak kehidupan aquatik di sungai atau laut," tutur Satrio.
Belum lagi soal kebutuhan pasok energi yang besar. Jika pada akhirnya Xinyi mennggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, maka sama saja tidak ramah lingkungan. Padahal, Xinyi akan memproduksi solar panel.
"Dalam ruang lingkup yang sangat dekat dengan masyarakat, abu dari cerobong asap pabrik yang memproduksi kaca ataupun PLTU, sangat dekat dengan permukiman warga," kata Satrio.
Terakhir, soal ancaman degradasi lingkungan karena potensi eksploitasi pasir sebagai bahan baku dasar produksi. Apalagi kawasan Kepulauan Riau, menurut Satrio, terkenal dengan produksi pasirnya. Hal itu pun akan menjadi opsi bagi Xinyi Group.
"Mereka merasa tidak perlu ambil material itu dari tempat jauh. Akhirnya pilih Rempang sebagai opsi menguntungkan," ujar dia.
Pilihan editor: Konflik Pecah di Pulau Rempang, Bahlil Kembali Singgung Ada Pihak Asing Tak Ingin Kepulauan Riau Maju