Pemerintah Sebut Penambangan Pasir Laut demi Kebutuhan Reklamasi dalam Negeri, Pengamat: Faktanya Eksploitasi Masif
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Grace gandhi
Minggu, 4 Juni 2023 07:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman kembali menanggapi soal kebijakan pemerintah membuka kembali keran ekspor pasir laut. Dia menepis klaim pemerintah bahwa penambangan hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur dan reklamasi dalam negeri.
Seperti diketahui, izin ekspor pasir laut telah diterbitkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
"Faktanya, dampak lingkungan pasti terjadi setiap adanya ekploitasi yang masif. Persoalannya adalah sejauh mana meminilisir dampak negatifnya," ujar Yusri dalam keterangannya kepada Tempo, Sabtu, 3 Juni 2023.
Dia berujar publik harus cerdas dan tidak mudah terkecoh atas omongan pejabat tentang tidak adanya dampak lingkungan atas eksploitasi besar-besaran pasir laut ini. Khususnya ketika para menteri menarasikan bahwa hanya sedimentasi laut yang bisa digunakan atau diekspor untuk kesehatan laut.
Kenyataannya, kata dia, kebutuhan pasir laut untuk kepentingan infrastruktur dan reklamasi dalam negeri, selama ini tidak membutuhkan payung hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023.
Sebab, menurut Yusri, sejak lama sudah ada payung hukumnya, yaitu Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pokok Pertambangan. Beleid itu diubah beberapa kali dan terakhir diubah menjadi Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara.
Dari perspektif Undang-Undang Minerba, tuturnya, pasir laut adalah produk pertambangan yang merupakan kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sementara dari perspektf PP Nomor 26 Tahun 2023, sedimentasi itu adalah proses yang merupakan urusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Dari perspektif ilmu geologi, ia menjelaskan, proses sedimentasi bisa terjadi di mana saja, baik di darat, di danau, di muara sungai, di pinggir pantai hingga di laut dalam. Produknya bisa mulai dari bongkah, kerikil, pasir, lanau hingga lempung.
Selanjutnya: Sehingga, menurut Yusri, wajar jika proses....
<!--more-->
Sehingga, menurut Yusri, wajar jika proses harmonisasi antar kementerian untuk pembentukan PP Nomor 26 Tahun 2023 tertahan lama hingga lebih dua tahun. Hal itu, menurut Yusri, telah diakui Jokowi pada Senin, 29 Mei lalu. Saat itu Jokowi menyatakan di jajaran kementerian selama ini tidak berani mengambil keputusan akibat terjadi tarik-menarik yang kuat.
"Sehingga banyak pihak menduga, PP ini kental konsep dari pengusaha daripada konsep akademik," ucapnya.
Padahal, ia mengungkapkan, izin pemanfaatan pasir laut di seluruh Indonesia yang sudah diterbitkan izinnya oleh gubernur dan Kementerian ESDM ada sekitar 141 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Selain itu, ada 12 IUP operasi (OP) yang sudah ditambang untuk kebutuhan infrastruktur dan reklamasi di dalam negeri selama ini, tetapi yang dilarang hanya tujuan ekspor.
Lebih lanjut Yusri juga membeberkan, lahirnya PP Nomor 26 tahun 2023 dianggap aneh oleh banyak pihak. Pasalnya, beleid ini karena telah mengesampingkan banyak undang-undang terkait, seperti UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Minerba, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan UU nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang serta UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah.
"Termasuk Rencana Zona Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) Pemprov Kepri yang diasistensi oleh KKP dan telah disahkan oleh DPRD Provinsi Kepulauan Riau sejak Desember 2020, lebih dua tahun di Kementerian Dalam Negeri hingga hari ini belum disahkan oleh Mendagri," ujar Yusri.
Terlebih pada pasal 3 dari PP Nomor 26 Tahun 2023, bahwa wilayah izin usaha pertambangan adalah yang dikecualikan dalam pengelolaan hasil sedimentasi ini. Yusri memprediksi akan ada banyak komponen masyarakat dari aktivis lingkungan hidup semacam Walhi dan Greenpeace, kelompok nelayan, penduduk wilayah pesisir, Pemda, dan pengusaha pasir laut yang menggugat produk PP ini ke Makamah Agung.
"Hal ini tentunya juga jika melihat ironi PP Nomor 26 Tahun 2023 ini yang hanya menerapkan sanksi administratif untuk pelanggaran terjadi, tanpa ada sanksi pidana. Padahal jelas potensi pidananya ada," tutur Yusri.
Pilihan Editor: 3.000 Tiket KA Bandara Kualanamu Terjual Selama Libur Panjang Pekan Ini
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini