Jika PLN Terus Bergantung pada Batu Bara, Ini Sederet Risiko Finansial yang Akan Dihadapi
Reporter
Riri Rahayu
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 26 Oktober 2022 22:34 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menyatakan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN bakal menghadapi potensi risiko finansial jika masih terus bergantung pada batu bara sebagai sumber energi primer listrik.
Pasalnya, volatilitas harga batu bara di pasar internasional membuat PLN bergantung pada subsidi listrik APBN yang sangat besar, hingga mencapai Rp 56,4 triliun pada tahun 2022.
Menurut Bhima, hal tersebut menghawatirkan lantaran PLN mesti menanggung selisih antara biaya pembangkit listrik dengan tariff subsidi pemerintah. “Cash flow margin PLN yang relatif kecil bisa menyebabkan riiko gagal bayar utang karena pendapatan subsidi yang berasal dari pemerintah dalam bentuk piutang dilunasi secara bertahap,” ujar Bhima dalam diskusi publik Peran Investor dalam Percepatan Mitigasi Perubahan Iklim di Hotel Ashley Jakarta, Rabu, 26 Oktober 2022.
Baca: PLN Bangun SPKLU untuk Dorong Ekosistem EV, Ini Deretan Mitranya
Di samping itu, PLN masih memiliki beban lain yakni kontrak jual beli tenaga listrik dengan produsen listrik swasta (Independent Power Producers/IPPs). Dengan PLN yang menggunakan skema take or pay, yang berarti digunakan atau tidaknya listrik yang dihasilkan, PLN tetap membayar sesuai dengan ketentuan yang disepakati.
Padahal, sebagian besar IPP yang ada merupakan pembangkit listrik dengan tenaga baru bara. “Maka, hal-hal tersebut dapat menyebabkan ancaman krisis energi, peningkatan risiko keuangan PLN, dan oversupply listrik dalam jangka panjang,” kata Bhima.
Lebih lanjut, peneliti Celios lainnya, Akbar Fadzkurrahman, mengatakan bahwa selain risiko keuangan, risiko yang bakal dialami investor ialah penurunan peringkat utang PLN. Komitmen pemerintah membantu PLN ketika terjadi kesulitan likuiditas tidak disadari sebagian pemegang obligasi.
Di samping itu, investor di pasar surat utang juga memiliki kontradiksi dengan komitmen mendukung percepatan pensiun dini PLTU.
Pemegang obligasi baik institusi asing, perbankan maupun investor ritel, menurut Akbar, memiliki peran yang signifikan dalam mengubah arah kebijakan PLN. "Total kewajiban terkonsolidasi PLN mencapai Rp187 triliun dari penerbitan obligasi pada 2021 atau memiliki porsi 38,5 persen dari total kewajiban jangka panjang,” ujar Akbar.
Oleh sebab itu, Celios menyarankan PLN menahan pembangunan PLTU baru untuk mengurangi risiko finansial dan non-finansial yang muncul. Perusahaan setrum negara itu juga mesti menjalin komunikasi efektif dengan pemegang obligasi demi mencegah penurunan peringkat utang yang cukup vital bagi kelangsungan usaha PLN.
“PLN juga perlu mengintensifkan gerakan transisi energi bersih untuk mengakomodasi eksternalitas negatif dan risiko atas pembangunan PLTU baru yang masih menggunakan batu bara sebagai sumber energi utama,” kata Akbar.
Baca juga: Energy Watch: Indonesia Belum Siap Manfaatkan Nuklir dalam Waktu Dekat
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.