KPPOD Ungkap Sejumlah Klausul di UU HKPD yang Berpotensi Ganggu Iklim Investasi
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Senin, 13 Desember 2021 15:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menemukan sejumlah potensi persoalan atau dampak negatif dari ketentuan di Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat Daerah atau UU HKPD yang berdampak terhadap pemerintah daerah dan pelaku usaha hingga investasi.
Direktur Eksekutif KPPOD, Arman Suparman mengatakan terdapat beberapa klausul yang berpotensi mengganggu iklim investasi, mengingat pengaturan terkait perpajakan daerah merupakan salah satu indikator dari tata kelola ekonomi daerah.
Salah satu yang disoroti adalah mengenai pengaturan beberapa pajak daerah, misalnya pajak barang dan jasa tertentu untuk tenaga listrik. Secara substansi, pengaturan PBJT tenaga listrik dalam UU ini telah sesuai dengan beberapa poin putusan Mahkamah Konstitusi.
Namun, penarikan pajak atas penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri mengindikasikan bahwa terdapat keterbatasan pemerintah dalam meyediakan infrastruktur dan penyediaakn tenaga listrik secara mandiri menandakan ada partisipasi masyarakat dalam perekonomian daerah.
“Dua hal ini perlu dipertimbangkan agar tetap memperhatikan keseimbangan dan melihat kontribusi pelaku usaha yang memiliki tenaga listrik yang dihasilkan sendiri terhadap perekonomian daerah”, kata Arman dalam konferensi pers, Senin, 13 Desember 2021.
KPPOD melihat bahwa penarikan pajak atas penggunaan listrik yang dihasilkan sendiri menimbulkan dampak ekonomi negatif. Selain itu, kenaikan persentase Pajak Bumi dan Bangunan untuk Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) juga berpotensi membebani pelaku usaha dan kelompok masyarakat tertentu.
<!--more-->
Terkait pengaturan evaluasi Perda PDRD, Arman melihat UU ini hanya memberlakukan sanksi terhadap Pemerintah Daerah yang tidak mengindahkan hasil excecutive review, namun tidak ada konsekuensi terhadap reviewer yang melakukan peninjauan Ranperda melebihi tenggat waktu yang ditentukan.
Menyoroti mekanisme Transfer Keuangan dan Dana Desa (TKDD) dalam regulasi ini, KPPOD memberikan ekspektasi bahwa TKDD mampu mendorong kinerja Pemerintah Daerah. KPPOD melihat bahwa pengaturan Dana Bagi Hasil (DBH) masih 'alam-sentris', padahal masa kini telah terjadi pergeseran struktur ekonomi. Sehingga, menurut KPPOD, perlu ada DBH sektor sekunder dan tersier sebagai penghargaan terhadap potensi daerah yang bermanfaat bagi pusat.
Selain itu, pengaturan Dana Alokasi Umum (DAU) mesti menyiapkan pengaturan atau asistensi kepada daerah bagaimana membuat penganggaran sesuai dengan prioritas daerah selaras dengan konsep standar pelayanan minimum.
Terkait Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Dana Keistimewaan, KPPOD mengatakan perlunya ada perbaikan tata kelola dana Otsus dan dana keistimewaan melalui pembinaan dan pengawasan; penajaman formula alokasi dari provinsi kepada pemerintah kabupaten kota; penajaman persyaratan penyaluran, aspek akuntabilitas pelaporan, target kinerja; dan pemberian insentif dalam peraturan pemerintah.
Untuk itu, KPPOD merekomendasikan sejumlah langkah tindak lanjut bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pusat. Arman menyampaikan bahwa Pemerintah Pusat mesti segera melakukan sosialisasi dan lokakarya secara sistematis, menyediakan instrumen analisis fiskal daerah, penguatan insentif dan disinsentif terkait realisasi anggaran, serta melakukan reformasi birokrasi sebagai modalitas pendukung implementasi regulasi ini.
Pemerintah Daerah juga diharapkan untuk menerapkan tata Kelola pemerintahan yang kolaboratif, menerapkan kebijakan berbasis bukti dalam penentuan tarif pajak dan retribusi, penguatan dukungan politik, dan reformasi birokrasi. “Ketika dalam UU sudah diarahkan maksimal belanja pegawai 30 persen, perlu ada penguatan sistem merit di daerah” tutur Arman.
CAESAR AKBAR
BACA: Investasi Capai Rp 300 Miliar di Lokasi Ibu Kota Negara dalam 2 Tahun Terakhir