Sri Mulyani Sebut Program Pemindahan Ibu Kota Masuk ke Kebijakan Fiskal 2022
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 1 Juni 2021 06:16 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan program pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur masuk ke dalam kebijakan fiskal tahun 2022. Hal tersebut sebagai upaya reorientasi pemerataan pembangunan dan transformasi perekonomian.
“Di mana kebutuhan Indonesia masa depan yang modern, mobilitas tinggi, demografi berubah, dan lingkungan sustainable,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Senin, 31 Mei 2021.
Dalam materi yang dipaparkan itu disebutkan pemindahan ibu kota menjadi penting karena merefleksikan kebutuhan pemerataan pembangunan, non-Jawa dan non-Jakarta sentris. Selain itu, ibu kota baru perlu didirikan untuk menciptakan keseimbangan antara cita-cita kemajuan bangsa, kehati-hatian dan kemampuan daya dukung keuangan negara.
Adapun dukungan pembiayaan dan mitigasi risiko pemindahan ibu kota ini dilakukan melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), skema kerja sama pemerintah dan badan usaha, pemberdayaan swasta, dan penugasan badan usaha milik negara.
Mengenai hal ini, Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah akan terus menjaga dan mengawal pembangunan dalam tingkat yang rasional serta beralasan.
<!--more-->
Dengan begitu, kebutuhan jangka menengah dan jangka panjang terhadap kebutuhan pembangunan pemulihan ekonomi, konsolidasi fiskal, serta tetap melihat Covid-19 sebagai jangka pendek tidak akan mengalami perubahan. “Sehingga kita tetap bisa menjaga berbagai kepentingan secara seimbang,” ucap Sri Mulyani.
Pendiri Narasi Institute sekaligus ekonom senior Fadhil Hasan sebelumnya meminta pemerintah menunda rencana pemindahan Ibu Kota Negara sampai penanganan Covid-19 selesai. Selain alasan masih ada pandemi, Fadhil juga menyoroti sosialisasi yang rendah terkait pemindahan IKN tersebut.
"Apalagi pemindahan ibu kota merupakan keputusan penting dan strategis, dan sudah seharusnya menjadi wacana publik yang luas dari semua pemangku kepentingan bangsa. Dan, justru itulah yang tidak terjadi," tutur Fadhil dalam keterangan tertulis, Sabtu, 17 April 2021.
Wacana ibu kota baru, menurut dia, hanya terjadi di kalangan elit dan lebih bersifat teknokratis, kurang partisipatif, dan akuntabel. Pasalnya, ia melihat terjadi kesenjangan antara publik dan negara dalam wacana pemindahan ibu kota ini.
“Jangankan masyarakat luas, DPR pun baru akan membahas RUU Ibu Kota ini dalam tahun ini, dan bahkan draf RUU dari pemerintah pun belum DPR terima. Artinya peletakan batu pertama pembangunan ibu kota ini dilakukan tanpa ada payung hukumnya," tutur dia.
BISNIS | CAESAR AKBAR
Baca: Kepala Bappenas: Otaknya Ibu Kota Baru, Hatinya Samarinda, Ototnya Balikpapan