Ini Fokus Sri Mulyani dalam Reformasi Pajak di Masa Pandemi
Reporter
Larissa Huda
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 9 Desember 2020 03:56 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk menstimulasi perekonomian di tengah pandemi Covid-19. Adapun pajak masih menjadi kontribusi paling besar dalam penerimaan negara. Namun, Kementerian Keuangan justru mencatat realisasi penerimaan pungutan negara hingga Oktober 2020 sebesar Rp826,9 triliun atau minus 18,8 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai pemulihan ekonomi akan berjalan seiring dengan kebutuhan untuk kembali mengumpulkan penerimaan negara. Menurut dia, reformasi perpajakan menjadi sangat penting di tengah pandemi karena harus menghadapi tantangan defisit APBN yang harus disehatkan kembali. Salah satunya adalah dengan memulihkan penerimaan pajak.
"Reformasi perpajakan menjadi penting karena seluruh kebutuhan untuk membangun pondasi ekonomi Indonesia seharusnya berasal dari penerimaan negara sendiri, terutama dari pajak," ujar Sri Mulyani dalam acara diskusi virtual Tempo bertajuk Pandemi Dan Keberlanjutan Reformasi Pajak, Selasa 8 Desember 2020.
Berbagai langkah telah dilakukan mulai dari memberi pelayanan hingga menghindari terjadinya tax avoidance. Selain fokus pada penerimaan pajak dari sektor pertambangan dan komoditas alam lainnya, Sri Mulyani mengatakan pemerintah kini memperluas kepada sektor yang sedang digandrungi banyak investor.
"Kini pemerintah juga bisa memungut pajak digital. Kami masih akan berikhtiar secara global, agar rezim perpajakan digital bisa disepakati tidak hanya di dalam forum G20, namun di dalam forum global," kata dia.
<!--more-->
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan peningkatan rasio pajak atau tax ratio sangat penting dalam mendukung reformasi perpajakan, lewat perluasan basis pemajakan.
Menurut dia, ada dua upaya yang dilakukan pemerintah, yaitu meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak yang tinggi dan pengawasan hukum yang berkeadilan.
"Dalam hal peningkatan kepatuhan sukarela, kami lakukan aktivitas edukasi, kehumasan, dan kemudahan pelayanan melalui banyak channel," kata Suryo. Ia menambahkan pemerintah juga mengsinkronisasi beberapa aturan yang masih menimbulkan multi-interpretasi.
Suryo mengatakan pemerintah bakal melakukan ekstensifikasi kepada masyarakat yang belum terdaftar sebagai wajib pajak untuk menjalankan kewajiban perpajakan. Ekstensifikasi ini, ujar Suryo, dilakukan berbasis kewilayahan yang telah dilakukan sejak awal 2020. Masuknya mereka ditandai dengan kepemilikan nomor pokok wajib pajak (NPWP).
"Selain regulasi, di sisi administrasi perpajakan yang kami lakukan adalah bagaimana kami betul-betul dapat menguasai wilayah untuk memperluas basis pemajakan kita," kata Suryo.
Wakil Ketua Komite Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sri Wahyuni Sujono berujar pelaku usaha mengapresiasi kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai stimulus perpajakan bagi pelaku usaha.
Meski begitu, pelaku usaha berharap regulasi perpajakan harus terus diperharui dan diperpanjang hingga 2021 mengikuti perkembangan ekonomi dan kebutuhan pelaku usaha.
<!--more-->
"Penyederhanaan regulasi dan implementasi diperlukan agar pelaku usaha dapat fokus pada kegiatan usaha yang dapat meningkatkan produksi, pasokan, dan permintaan dari masyarakat," ujar Sri.
Sri mengatakan tingkat kepercayaan pelaku usaha dalam membayar pajak sudah mulai terbentuk. Menurut dia, rencana ekstensifikasi perpajakan ini harus diimbangi dengan edukasi kepada masyarakat. "Peraturan pelaksanaan harus disertai contoh-contoh yang jelas dan sosialisasi publik, sehingga bisa diterapkan lebih mudah oleh semua stakeholders," kata Sri.
Berdasarkan laporan survey kepatuhan, keadilan, dan efisiensi layanan pajak yang dilakukan oleh Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT) dan Center for Indonesia Taxation (CITA), kesadaran wajib pajak tentang pentingnya menunaikan kewajiban pajak selama tiga tahun terakhir sudah tinggi.
Selain itu, ada peningkatan kepercayaan terhadap institusi perpajakan pemerintah bagi wajib pajak (WP) pribadi, namun ada penurunan kepercayaan bagi WP badan.
Menurut Deputi Direktur CITA Ruben Hutabarat, simplifikasi admninistrasi dan kemudahan pelayanan berkorelasi positif dengan keinginan wajib pajak melaksanakan kewajiban perpajakan. Untuk itu, modernisasi administrasi perpajakan harus dituntaskan.
"Pemerintah perlu meyakinkan wajib pajak dengan memperbaiki ekosistem perpajakan dengan meningkatkan transparansi, akuntabel, dan adanya kepastian hukum," ujar Ruben.
Ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM) Akhmad Akbar Susanto mengatakan reformasi perpajakan sudah dilakukan sejak lama. Namun, Akbar berujar reformasi perpajakan yang terkait dengan administrasi tidak selalu menjamin hasilnya seperti yang diharapkan.
Misalnya, kebijakan penurunan tarif pajak tidak menjamin basis pajak bisa diperluas atau meningkatkan investasi. Menurut dia, ada jarak yang perlu diselesaikan oleh banyak pihak.
"Oleh karena itu harus diimbangi oleh langkah-langkah yang lebih serius untuk memastikan bahwa reformasi kebijakan pajak itu sesuai dengan yang diharapkan," kata Akbar.
Baca: Penerimaan Pajak Terus Turun, Sri Mulyani: Reformasi Perpajakan Menjadi Penting
LARISSA HUDA